Ki Ageng Suryamentaram (KAS) lahir 22 Mei 1892 adalah putera Hamengku Buwana VII. Mulai berfilsafat 1921 lewat Perkumpulan Selasa Kliwonan di Yogya. Menanggalkan kepangeranannya 1921, kemudian menetap di Kroyo Bringin (9 km utara Salatiga) sebagai petani (1925) sambil menjadi Penceramah Keliling. Substansi ceramahnya, antara lain: berkenaan dengan kepenuhan-hidup dan manusia merdeka, pendidikan, mata pencaharian, rumah tangga dan perkawinan.
Wejangan-wejangannya dikenal sebagai “Kawruh Begja” (KB), “Ilmu Bahagia” (IB) dengan metapora “mulur-mungkret” (menyusut-mengembang) sebagai ikon yang sangat dikenal. Setelah KAS meninggal (1962) KB/IB diperkenalkan lagi dengan nama “Kawruh Jiwa” (KJ) (1982). Sepanjang hayat KAS menulis 13 buku dan pelbagai risalah. Tulisan memuat KB/IB dan KJ serta KAS dalam konteks studi sosial politik pulau Jawa lewat antara lain Geertz (USA,1960), Bonef (Trancis,1970), Yoshi Michi (Jepang,1990). Di Fakultas Psikologi UGM, UNDIP, UMS pemikiran KAS diajarkan sebagai ‘endigenous-psycology’. Masyarakat mempelajari KJ dalam KPKJ (Komunitas Pelajar Kawruh Jiwa.
TENTANG PERNIKAHAN
ASMARADANA:
Dasare wong laki rabi
Manungsa karo manungsa
Kang isih padha uripe
Wong wadon karo wong lanang
Lan padha wus dhewasa
Sarta sami purunipun
Iku aturaning alam
Artinya:
Dasar pernikahan manusia
Manusia dengan manusia
Yang sama-sama masih hidup
Wanita dengan pria
Dan sama-sama sudah dewasa
Serta sama-sama mau
Itu berdasarkan hukum alam
PUCUNG:
Butuhipun gawe kulawarga kukuh
Bagya sarta mulya
Ayem tentrem edi peni
Lan manungsa run tumurun jinisipun
Artinya:
Perlunya membentuk keluarga yang kokoh
Bahagia dan sejahtera
Tenteram, damai dan indah
Dan melangsungkan regenerasi
DHANDHANGGULA:
Caranipun anggone nglampahi
Jejodoan sarta bebojoan
Lan uga sesrawungane
Padha nyukupi butuh
Lestarining gesang lan jinis
Sami ambudidaya
Amrih bisa cukup
Ukurane dudu semat
drajat tuwin kramat ingkang nomer siji
Ananging nganggo rasa
Artinya:
Cara menjalaninya
Perjodohan serta berkeluarga
dan juga interaksinya
Bersama-sama mencukupi kebutuhan
Kelangsungan hidup dan jenisnya
Bersama-sama berusaha
Supaya berkecukupan
Ukurannya bukan harta benda,
kedudukan dan kekuasaan
Tetapi menggunakan (ukuran) rasa
Persyaratan menikah menurut ajaran Ki Ageng Suryamentaram (KAS), cuma ada lima (5):
- Padha manungsane (sama-sama manusia)
- Padha uripe (sama-sama masih hidup)
- Lanang karo wadon (laki-laki dengan perempuan)
- Padha dewasane (sama-sama dewasa)
- Padha geleme (sama-sama mau)
Cuma itu. Lalu bagaimana urusan surat menyurat? Ya.. prinsip di KAS antara lain “sabutuhe, saperlune, sacukupe”, jadi ya tidak diada-adakan yang tidak diperlukan. Sebenarnya Kawruh Jiwa (KJ) bukan kepercayaan tertentu, melainkan hanya filsafat, namun karena oleh pemerintah dianggap sebagai aliran kepercayaan, jadi boleh menikahkan sepasang manusia yang akan berumah tangga. Dari KJ diteruskan di Catatan Sipil dan bereslah urusan pernikahan.
Yang boleh dinikahkan oleh aliran kepercayaan, tentunya bukan yang sudah memeluk agama tertentu. Untuk mengatasi ini, ya.. kalau calon mempelai sudah beragama (ditunjukkan dengan KTP-nya), ya tinggal bikin KTP sementara dan di isian “Agama” ditulis “Lainnya”. Begitu saja sudah beres, tidak perlu macam-macam syarat yang memberatkan seolah-olah mengurus pernikahan adalah pekerjaan yang luar biasa rumit.
Bagaimana jika setelah menikah kembali ke agamanya semula, ya silakan saja, itu hak asasi manusia, apalagi KJ bukan agama dan bukan pengganti agama. Tetap beragama ya silakan, tidak beragama ya silakan. Negara menjamin kebebasan memeluk/tidak memeluk suatu agama. Yang penting tidak melanggar Pancasila, tetap harus ber-Ketuhanan.
ROMPI ONTROKUSUMO
Ki Ageng Suryomentaram (KAS) pada periode 1920-1928 di Yogya menulis Buku Langgar memuat 28 tulisan yang menurut saya (2003) merupakan ‘surat politik’ dan keberpihakannya kepada ‘gerakan politik pra-kemerdekaan’. Tetapi Ki Purwanto Subakhir (PS) (2006) melihat kumpulan surat tersebut sebagai wejang dan peta strategi pembelajaran-rasa Kawruh Jiwa (KJ). Pada surat ke-3 bertajuk “Kere waja dateng Paman Karsana, dhik Mantri Pamicis, utawi Pak Suta” oleh PS ditafsir sebagai lanjutan Surat ke 2 yang membahas tentang ‘kehendak’ (Jawa: karep). Kere-waja dalam surat tersebut diartikan pula sebagai ‘rompi/kutang Ontrokusumo’ — yang dalam mitos Sunan Kalijaga dianggap sebagai ‘senjata inkulturasi penyebaran Islam berbasis budaya Jawa di Pantai Utara Jawa’. Rompi tersebut juga ditafsir sebagai rompi-terbang bertanda bintang 8 di bagian dada milik R.Gatutkaca satria Pringgadani anak Wrekudara.
Oleh karena ‘Buku Langgar’ dianggap adalah konsep pra-KJ, oleh beberapa senior dan komunitas bahan tersebut tak disebarluaskan. Masih disinggung sebagai ilustrasi dan hanya dipelajari oleh para Pelajar yang memiliki ‘minat khusus’.
Dalam teks KAS dan Doktrin KJ rompi tersebut diibaratkan sebagai ‘alat penetral’ racun sanjungan dan pencemooh / penilaian negatif. Dengan rompi tersebut pemakai akan menjadi obyektif, sabar, dan bisa akomodatif terhadap penilaian subyektif orang lain. Dengan rompi tersebut pemakai akan menjadi pluralis, multikulturalis, dan intersubyektifis. Dasar esensial yang harus dipenuhi pemakai agar bisa menggunakan rompi tersebut adalah rasa-kasih terhadap sesama yang terjabar dalam 12 wejangan KJ dan sifat kualitatif 6 SA. Oleh Ki PS tahap ‘Rompi Ontrokusumo’ ini adalah ‘uji material’ prinsip dasar KJ terhadap realitas memblunyahnya kehendak manusia yang tercantum metaporanya dalam Surat-2.
Ki Theodorus Pujiono almarhum (meninggal 30/12/07) sepanjang 5 tahun mempelajari KJ memiliki minat khusus mempelajari dan mengaplikasi konsep Rompi Ontrokusumo (kere-waja) tersebut. Ia mencari indikator empiris dan mencobanya dalam hidup keseharian, baik di kalangan rekan sejawat, pada Kelompok Tani di wilayah BPP Kesongo, Kab. Semarang atau dengan tetangga pergaulan di Jerukan, Kalioso-Kidul, Salatiga. Hasilnya sangat mentakjubkan. Ia menjadi ceria, optimistik, semakin demokrat, dan menjadi ‘titah-sakwantah‘ yang berbahagia.
MULUR MUNGKRET
Konsep mulur mungkret (mengendor dan mengerut) disampaikan Ki Ageng Suryomentaram (KAS) dalam upaya untuk memahami keinginan manusia. Setiap manusia (normal) pasti memiliki keinginan, keinginan yang selalu bertambah-tambah, sesuai dengan ‘nature/sifat dasar’ manusia yang tidak pernah puas. Sebaliknya jika keinginannya tidak tercapai, seringkali manusia menurunkan target keinginannya. Contohnya, orang yang ingin memiliki kendaraan. Semula ingin memiliki sepeda motor, jika sudah tercapai ingin memiliki mobil sederhana, sudah tercapai, ingin memiliki mobil yang lebih bagus, ingin memiliki lebih dari satu mobil, dan seterusnya. Ini adalah keinginan yang ‘mulur‘ (mengendor).
Sebaliknya, ketika seeorang memiliki keinginan yang tinggi, namun tidak segera tercapai (kemungkinan tercapai sangat kecil), maka yang (perlu) dilakukannya adalah menurunkan keinginannya itu menjadi lebih rendah. Misalnya, semula ingin isteri yang cantik dan pintar, diturunkan (mungkret-mengerut) menjadi, yang penting cantik, walau tidak pintar, atau yang penting pintar walaupun kurang cantik. Jika pintar dan cantik juga tidak mungkin, ya asal masih gadis. Jika ini tidak tercapai, janda pun tidak apa-apa, asal belum punya anak.
Jika mau mengikuti falsafah mulur-mungkret ini, maka manusia akan dapat lebih menikmati hidup. Selalu termotivasi untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, tetapi juga tidak stress jika ternyata cita-cita (keinginan) semula tidak dapat tercapai. Namun, perlu disadari dan dimengerti bahwa yang memiliki keinginan, cita-cita, yang tidak puas dengan yang telah dicapai, adalah aku kramadangsa (AK), bukan aku tukang nyawang (ATN), sehingga sebenarnya yang merasakan puas atau tidak puas, yang keinginannya mulur-mungkret adalah AK, dan ATN mengamati, melihat saja. Kesadaran bahwa hanya AK yang punya keinginan/cita-cita, yang keinginannya mulur atau mungkret, akan membantu manusia memiliki pengendalian diri yang lebih baik dalam mengelola keinginan/cita-cita hidup.
Catatan: sebenarnya kata ‘mulur‘ tidak begitu pas diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ‘mengendor’, sebab kendor, bahasa Jawanya adalah ‘kendho‘. Mulur dalam bahasa Jawa, artinya kendor, untuk benda misalnya karet, yang bisa memanjang dan memendek, atau per pegas yang bisa merenggang dan mengerut. Karet yang memanjang, per yang merenggang, itu dalam bahasa Jawa disebut ‘mulur‘. Kata ‘waktunya molor’, itu dalam bahasa Jawa disebut juga ‘wektune mulur‘ .
TEGAR (TATAG)
Salah satu ‘kelebihan’ yang dimiliki oleh para Pelajar Kawruh Jiwa (KJ), adalah ketegarannya dalam menghadapi cobaan hidup. Seorang pelajar KJ, yang isterinya terbaring dirumah sakit karena menderita kanker, dapat menunggui isterinya dengan wajah yang ‘biasa’ tanpa kesedihan yang berarti, bahkan sambil menunggui isteri di rumah sakit, masih sempat mengerjakan tugas-tugas kantornya.
Seorang teman saya pernah bercerita, ada seorang ibu yang anaknya (masih SMA) meninggal dunia karena sepeda motor yang dikendarai menabrak tiang listrik, tidak menangis dalam acara pemakaman anaknya, dan hanya berkata pada orang-orang yang keheranan, ”Ya.., kalau saya ya inginnya anakku tidak mati, tapi dia sendiri maunya begitu….”
Seorang pelajar KJ di Klaten, Jawa Tengah, ketika sadar rumahnya roboh karena gempa (Mei 2005), hanya bergumam, “Ya nggak apa-apa, besok bikin rumah lagi”. (padahal orang ini belum tahu akan mendapat uang dari mana untuk membangun rumahnya kembali).
Salah satu falsafah yang dipegang para pelajar KJ adalah mensyukuri apapun yang dialami. Prinsipnya adalah aku mau kini, disini, begini, artinya menerima keadaan apapun saat ini. Bukan kemarin atau yang sudah lewat, karena yang sudah lewat adalah ‘cathetan’ (pengalaman) dan bukan pula yang akan datang, sebab yang akan datang adalah ‘anggitan‘ (angan-angan/imajinasi). Prinsip kekinian ini membuat pelajar KJ menjadi tegar dalam menghadapi kejadian apapun yang dialaminya.
Ditambah lagi pemahaman bahwa kejadian adalah netral, dan yang menjadi masalah adalah tanggapan/sikap terhadap kejadian yang dialami oleh seseorang. Hal inilah antara lain yang menyebabkan para pelajar KJ memiliki ‘kere waja‘ (tirai baja), yang mampu ‘melindungi’ diri dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak diri, termasuk (khususnya) berbagai kekuatiran karena kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
WOHING KAWRUH JIWA
Ki Ageng Suryomantaram (KAS) miwiti mbabaraken ajaran kawruh begja wonten ing Desa Kroya, Bringin, Kabupaten Semarang, antawisipun sedasa kilometer ing sisih ler, saking kitha Salatiga. Ajaran utawi filsafat kawruh begja kawiwitan saking sumerepipun Ki Ageng dhumateng hakikatipun tiyang, ingkang miturut Ki Ageng ing saben tiyang punika wonten kalih perangan ”Aku”, inggih punika ”Aku tukang nyawang” kaliyan ”Aku kramadangsa”. Filsafat kawruh begja punika sakmenika langkung moncer kanthi sebatan kawruh jiwa.
Aku tukang nyawang inggih punika peranganing tiyang ingkang saged mangertos punapa kemawon ingkang dipunraosaken, lan dipunlampahi dening Aku kramadangsa. Aku kramadangsa inggih punika peranganipun tiyang ingkang kagungan ‘kekarepan’, lan ingkang nglampahi punapa kemawon, sadanguning tiyang punika gesang wonten ing salumahing bumi sakurebing langit. Aku tukang nyawang namung ”nyawang” kemawon, mangertos dhumateng raos lan lelampahanipun Aku kramadangsa.
Langgeng bungah susah dados jargonipun para siswa kawruh jiwa. Siswa kawruh jiwa, inggih punika tiyang-tiyang ingkang nyinau, nyuraos, ajaran/filsafat Kawruh Jiwa. Langgeng bungah susah punika kalairaken saking filsafat bilih tiyang punika badhe ngraosaken bingah menawi karepipun kalampahan, lan menawi karep boten kalampahan, badhe ngraosaken sisah. Nanging boten wonten bingah sajege, lan boten wonten sisah sajege. Menawi karepipun kelampahan, lajeng nglairaken raos bingah, nanging sekedhap malih bingah punika badhe ical, kagantos raos sisah, amargi taksih wonten karep sanes ingkang boten utawi dereng kalampahan.
Bab karep punika, ing kawruh jiwa wonten falsafah mulur mungkret, inggih punika bilih tiyang badhe mulur karepipun (karepipun langkung ageng), menawi karep ingkang rumiyin sampun keturutan, nanging kosokwangsulipun, menawi karep boten kalampahan, karep punika badhe mungkret, langkung alit.
Mesthi penak NemSa (SaNem), inggih bab ingkang moncer ing filsafat ajaranipun Ki Ageng Suryamentaram, NemSa inggih punika: sabutuhe, sacukupe, saperlune, sabenere, samestine, sapenake (dipun singkat dening para tiyang ingkang nyinau kawruh jiwa – Salatiga: butuh cukup, perlu bener, mesthi penak. NemSa punika asring dipunmangertos kanthi klentu, utaminipun ing babagan sapenake, dipunanggep bilih para siswa kawruh jiwa punika lajeng ”sakarepe dhewe”, sapenake kemawon anggenipun nglampahi gesang. Ki Ageng nate ngendika kirang-langkungingipun ‘kepenake tiyang punika menawi saged ngepenakke liyan’. Dados, sapenake punika boten ‘sakarepe dhewe’, nanging nglampahi gesang supados tiyang sanes inggih saged ngaosaken sekeca. Langkung-langkung menawi dipunsuraos perangan NemSa ingkang samesthine lan sabenere, punika badhe nuntun para tiyang ingkang sinau kawruh jiwa saged nglampahi gesang kanthi samesthinipun, ngampahi bab-bab ingkang leres, boten lelawanan kaliyan angger-anggering gesang lan boten nglampahi lelampahan-lelampahan ingkang boten pantes.
Sejatosipun, pucukipun pasinaon kawruh jiwa inggih punika menawi para siswa Kawruh Jiwa saged nggadhahi pangawikaning pribadi, nggadhahi pengenalan diri utawi pengendalian diri ingkang sae, lan tandhanipun tiyang punika sampun nggadhahi raos saged nampi punapa kewawon lelampahanipun gesang (saiki, kene, mengkene, aku gelem), saged nggadahi raos tatag ngadhepi punapa kemawon lelampahanipun gesang. Raos punika boten raos ”pasrah bongkokan” (nrima ing pandum) ingkang pasif, nanging raos mangertos (weruh – sadhar-aktif), bilih punapa kemawon ingkang kalampahan ing gesang punika namung dipunlampahi dening Aku kramadangsa, lan Aku tukang nyawang mangertos punapa kemawon ingkang kelampahan, lan boten dados semplah ngadhepi punapa kemawon.
SENENG SUSAH
Sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang terus menerus bahagia, bukanlah hidup yang baik ( George Loewenstein). Seperti halnya “falsafah” dalam Kawruh Jiwa (KJ) yaitu “Langgeng Bungah Susah”, para pelajar KJ, menyadari sepenuhnya adanya rasa senang dan susah yang silih berganti.
Senang itu apa? Susah itu apa?
Rasa senang seringkali disamakan dengan rasa bahagia, dan rasa susah seringkali disamakan dengan rasa celaka. Penyamaan arti ini sebagai penyederhanaan boleh-boleh saja, namun jika dikaji lebih lanjut, tentunya ada beda antara senang dan bahagia, antara susah dan celaka.
Rasa senang timbul jika keinginan (karep) tercapai, dan rasa susah timbul jika keinginan tidak tercapai, itulah salah satu ajaran dari KAS, jadi senang dan susah itu tergantung dari keinginan (karep), bukan tergantung pada keadaan yang terjadi. Keadaan adalah netral, namun sikap terhadap keadaan itu yang tidak netral. Sikap terhadap keadaan itu tergantung dari keinginan.
Saya mungkin akan bersedih (susah) jika besok pagi isteri saya meninggal dunia, karena (dalam lubuk hati saya) ada keinginan agar isteri saya tidak meninggal besok pagi, tetapi apakah tetangga saya akan bersedih? Mungkin tidak, sebab tetangga saya tidak memiliki keinginan apapun terhadap istri saya, mereka tidak peduli apakah isteri saya hidup atau mati.– tidak punya keinginan istri saya hidup atau istri saya mati– Jadi keadaan isteri yang meninggal, itu dapat menimbulkan sedih, bisa juga tidak menimbulkan rasa apapun, bahkan bisa juga menimbulkan rasa senang (misalnya buat perempuan yang sudah lama naksir saya).
Saya akan merasa senang jika besok tanggal 1 saya menerima gaji, karena saya menginginkan uang itu untuk membayar beberapa kebutuhan saya. Tetapi teman saya tidak merasa senang (atau susah) apabila saya menerima gaji di tanggal 1, teman saya tidak memiliki keinginan terhadap uang gaji itu.
Sekali lagi, keadaan adalah netral, yang membuat kita senang atau susah ketika ada keadaan tertentu adalah ada atau tidak ada keinginan dalam diri kita. Sehingga, salah satu cara untuk menghindari kesusahan adalah dengan mengendalikan keinginan.
Bagaimana mengendalikan keinginan? Apakah keinginan perlu ‘ditiadakan’? Wah.. Ini agak rumit, sebab ‘mengendalikan keinginan’ juga merupakan sebuah keinginan. Belajar sedikit-sedikit mengenai KJ, dapat menyingkap masalah keinginan, rasa senang/ bahagia, dan rasa sedih /celaka. Juga menyingkap bagaimana dapat “menangani” senang dan susah yang silih berganti.
Namun ada CATATAN penting, yakni bahwa LANGGENG BUNGAH SUSAH bagi Pelajar Kawruh Jiwa, bukan sekedar diartikan keadaan susah dan keadaan senang yang silih berganti dalam hidup ini, seperti dalam konsepsi “CAKRA MANGGILINGAN”, sebab pelajar KJ akan ‘BUNGAH’, jika ketika ‘SUSAH’, penyebab keSUSAHan itu diketahuinya, diketahui oleh “Aku Tukang Nyawang”, dan ketika penyebab kesusahan itu diketahui (yaitu sebenarnya penyebabnya adalah karep/keinginan yang tidak tercapai), maka timbul ‘KESADARAN’ untuk TIDAK TERUS SUSAH, dan ketika “tidak terus susah”, artinya BUNGAH yang muncul. Jadi BUNGAH yang timbul karena TAHU keSUSAHANnya sendiri. Inilah “LANGGENG BUNGAH SUSAH” itu.
Ki Ageng Suryo Mentaram adalah sosok pemikir orisinil negeri ini. Sebagaimana dalam kosmologi jawa, Ki Ageng Suryo Mentaram melakoni “laku”. Laku yang dilakukan dengan meninggalkan segala yang duniawi, kekayaan, harta dan kekuasaan. Semua itu ditinggalkan untuk melakukan pencarian hidup yang sejati. Atau dalam istilah orang jawa sering dikatakan “sejatinya hidup itu apa?”
Ki Ageng tampak juga melakoni hidup ala falsafah budha. Ia meninggalkan hal yang bersifat materi untuk memuaskan hasrat rohaniah. Hasrat rohaniah ini ia jalani bersama kawula alit, di sanalah ia merasakan hidup dan kehidupan yang sebenarnya hingga berkesimpulan “Aku bukan aku” yang artinya bahwa kehidupan kita tak lain adalah bagian dari kehidupan orang lain. Adanya rasa kasih sayang dan tidak mementingkan diri sendiri. Marcel Bonnef menyebut langkah Ki Ageng Suryo Mentaram mirip Siddharta, untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan”
Falsafah hidup
Pelajaran penting dari falsafah hidup Ki Ageng Suryo Mentaram penting untuk menghadapi dunia yang semakin materialistis dan bersifat rasionalitas mekanik. Ia menganggap hidup itu seperti layaknya takdir yang mesti dijalani. Bila seseorang sudah menganggap hidup itu adalah bagian dari takdir, maka seseorang akan menerima dengan ikhlas bahagia, sengsara, kaya ataupun miskin, atau juga warna-warni kehidupan. Ia mengajarkan “tidak ada sesuatupun di atas bumi dan di kolong langit yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya ditolak secara berlebihan”. Artinya dalam kehidupan ini sifat “narima ing pandum” menerima bahagian hidup kita dengan ikhlas.
Kita akan menemukan bagaimana sebenarnya Ki Ageng Suryo Mentaram penting diangkat kembali dalam khasanah pemikiran filsafat kita. Pemikirannya tentang falsafah hidup kebahagiaan perlu kita jadikan pelajaran penting. Ia mengajarkan pada kita tentang makna mawas diri. Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh syair yang diciptakan Paku Buwono IV: “benar atau salah keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan/kemalangan penyebabnya ditemukan dalam tiap-tiap diri kita dan bukan dalam diri orang lain maka dari itu kita mesti berhati-hati.
Pelajaran atau ilmu Ki Ageng sering disebut dengan istilah kawruh jiwa. Ki Ageng menjelaskan yang dimaksud kawruh jiwa itu tak lain adalah “pengetahuan tentang rasa”. kawruh jiwa bukan agama, yang mengajarkan baik dan buruk sebagai petunjuk harus berbuat begini dan begitu, bukan pula kewajiban atau larangan. Kawruh jiwa hanyalah pengetahuan, yang mencoba memahami jiwa dan hal-hal yang terkait tentang itu, sebagaimana pengetahuan tentang hewan dan pengetahuan tentang tanaman dan sebagainya. Intinya pelajaran tentang kawruh jiwa adalah pengetahuan tentang bagaimana memahami “rasa” atau “jiwa” manusia. Di dalam kawruh jiwa itulah, kita akan menemukan falsafah hidup yang membawa manusia kepada kebahagiaan sejati, atau sejatinya kebahagiaan. Sebab dalam pandangan kawruh jiwa, hidup itu tak lain dari sementara atau kehidupan yang ibarat hanya mampir ngombe.
Ilmu bahagia
Bagaimana ilmu bahagia yang diajarkan Ki Ageng Suryo Mentaram? Hidup itu mesti dijalani dengan enam “sa”. Sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya), samesthine (semestinya) dan sakpenak’e (sepantasnya). Dengan menjalani kehidupan yang enam “sa” tadi, diharapkan manusia itu tidak berlebihan, dan senantiasa menyikapi bagian dari hidup ini dengan sewajarnya dan waspada. Ki Ageng juga menggambarkan ini seperti mulur-mungkret, artinya hidup ini kadang harus diterima dengan dada yang lapang, kadang kita cukup, kadang kita mengalami saat kurang.
Dengan seperti itulah maka Ki Ageng tak merasa kekurangan, merasa dicukupkan dalam hidup meski ia bersama rakyat jelata dan meninggalkan istana dan segenap kemewahannya. Penggambaran Ki Ageng Suryo Mentaram ini ada dalam puisi Saini Kosim sebagaimana ditulis ulang oleh Bandung Mawardi. “Kutinggalkan gelar dan istana untuk menjadi penggali sumur. Kulepas dunia bayang-bayang dan kuraih wujud”. Karena tindakan ini Ki Ageng mendapatkan cacian dari keraton dan atas kemauan kuatnya itu pula ia menemukan kebahagiaan sejati. Bahwa kebahagiaan menurut Ki Ageng yakni tidak mementingkan diri sendiri, dan selalu memperhatikan “rasa” dan perasaan orang lain.
Dari pengelanaan pemikirannya Ki Ageng menemukan konklusi: bila orang sudah memiliki “rasa” aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia. Maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri ia merasa itu bukan aku. Begitu juga dengan menanggapi dunia seisinya dan semua kejadian-kejadian orang pun akan merasa “itu bukan-aku”. Demikianlah rasa aku itu bahagia dan abadi.
Esai-esai dalam buku ini tak lain adalah untuk mengangkat kembali khasanah pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram tentang bagaimana menggapai kebahagiaan sejati. Pemikiran Ki Ageng dihadirkan kembali di abad 21 dengan pamrih orang atau manusia modern akan menilik ulang bagaimana kehidupan ini menjadi semakin rusak atau bahagia karena tak memahami “rasa” sebagaimana yang dituturkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram. Dengan membaca buku ini, kita menjadi semakin mengerti bahwa hidup itu mesti tak dijalani dengan puja uang, puja kekuasaan dan puja kemahsyuran. Sebab bila kita menilik pemikiran Ki Ageng, semua itu berarti belum menemukan “aku” yang sejati. Aku yang sejati bahagia dan abadi, tidak lain adalah aku yang menyadari bahwa semua yang ada dalam kehidupan ini tak lain adalah bukan dari “ aku” itu sendiri. Selamat menyelami pemikiran Ki Ageng yang tersaji dalam buku ini. (https://www.academia.edu/7049365/ILMU_KAWRUH_JIWA_KI_AGENG_SURYOMENTARAM)
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Kawruh Begja Ki Ageng Suryomentaram. Jika menurut Anda Kawruh Begja Ki Ageng Suryomentaram bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus