Paseban Jati

0
Tan Malaka dikhianati Alimin soal pemberontakan PKI 1926

Tan Malaka merupakan tokoh PKI yang menolak pemberontakan pada 1926-1927. Tan Malaka mendapat informasi soal rencana pemberontakan dari Alimin di Manila, Filipina.

Saat itu, Alimin melaporkan soal keputusan pertemuan di Prambanan kepada Tan Malaka sebagai wakil Komunis Internasional (Komintern) wilayah Asia Tenggara. Pertemuan yang digelar pada 25 Desember 1925 itu dihadiri oleh sejumlah pemimpin PKI di bawah Sardjono.

Dalam pertemuan itu disepakati PKI akan memberontak terhadap pemerintah Belanda pada Juli 1926 dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi bersenjata.

Namun Tan Malaka tak setuju atas rencana itu. Tan Malaka menilai rencana pemberontakan masih mentah dan PKI belum siap untuk memberontak. Jika dipaksakan malah akan membahayakan gerakan di tanah air. Pemerintah Belanda pasti akan semakin memperketat ruang gerak dunia gerakan.

"Putusan itu saya anggap salah, karena diambil tergesa-gesa, kurang pertimbangan, harinya akibat provokasi lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan diri sendiri, tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tidak cocok dengan taktik strategi komunis, ialah massa aksi, akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan di Indonesia dan lain sebagainya," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara.'

Tan Malaka meminta agar keputusan tersebut dirundingkan kembali. Tan lantas memberi Alimin dokumen yang berisi alasan penolakan terhadap rencana pemberontakan. Dokumen itu harus diberikan kepada para elite PKI yang ada di Singapura, Sumatera dan Jawa.

Dokumen itu berisi berbagai ringkasan usul atau tuntutan terkait dengan massa aksi, seperti mogok umum tuntutan ekonomi, mengadakan majelis permusyawaratan rakyat, memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk pemerintah sementara dll.

Bila semua tuntutan terlaksana, kata Tan, barulah pukulan terakhir dijalankan. Tan menilai PKI belum siap memberontak dalam waktu dekat.

"Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara massa aksi inilah yang harus dilakukan oleh suatu partai komunis," ucapnya.

Alimin pun berangkat menuju Singapura untuk merundingkan kembali rencana Prambanan dengan para tokoh PKI seperti Musso, Boedisoetjitro, Sugono, Subakat, Sanusi dan Winata. Alimin meyakinkan Tan Malaka, bahwa ia sanggup mengumpulkan tokoh PKI lainnya untuk kembali merundingkan rencana itu. Jika sudah siap, Alimin berjanji akan memberi kabar kepada Tan Malaka.

"Kami aturlah kode bersama-sama. Kalau setuju dengan usul saya apa kodenya, kalau tidak apa dan kalau setengah apa pula, dan lagi dengan pendek saya tuliskan saya atas keadaan di Indonesia, dan saya usulkan taktik yang harus dijalankan semuanya kode, tinjauan dan usul, diketik oleh Alimin sendiri," katanya.

Namun, setelah satu bulan pergi, tak juga ada kabar dari Alimin kepada Tan Malaka. Setelah diselidiki, ternyata Alimin tak pernah menyerahkan dokumen tersebut kepada para tokoh PKI di Singapura. Alimin malah pergi ke Moskow bersama Musso meminta restu untu menjalankan pemberontakan.

"Baru saya sadar kejujuran Alimin terhadap saya sendiri, selama ini. Teman yang selama ini saya anggap jujur terhadap saya dan amat saya hargai selama ini, hilang di hati saya sebagai teman seperjuangan," terangnya.

Meski Moskow tak merestui, pemberontakan PKI pada 1926-1927 tetap dilaksanakan. Hasilnya sesuai prediksi Tan Malaka . Pemberontakan di Banten pada 1926 dan Sumatera Barat pada 1927 gagal total.

Belanda dengan mudah dapat mematahkan pemberontakan yang tak terkoordinir dengan baik itu. 1.300 anggota PKI Banten ditangkap.

Dari jumlah tersebut, empat orang divonis mati, sembilan orang divonis seumur hidup, dan 99 orang dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.

Setelah pemberontakan itu, dunia pergerakan di Banten semakin sulit. Belanda semakin ketat mengawasi warga dan aktivitas sosial serta politik.

Meski telah dikhianati, Tan Malaka tetap menghargai Alimin. Namun, setelah peristiwa itu Tan Malaka hanya menganggap Alimin sebagai teman untuk bergembira dan bergaul.

"Alimin masih saya hargai. Tetapi sebagai teman seperjuangan saya sangsikan kejujurannya" pungkasnya.

"Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi."

Pernyataan itu diucapkan Tan Malaka kepada polisi rahasia Belanda, Viesbeen, saat diinterview di kantor polisi Hong Kong pada Desember 1932. Saat itu Tan Malaka tengah dalam penahanan polisi Hong Kong setelah tertangkap di Koowlon oleh dua orang polisi rahasia Inggris.

Namun pernyataan Tan Malaka itu justru menjadi bahan tertawaan Viesbeen. Jika ditelisik, pernyataan Tan Malaka itu ada benarnya.

Meski Tan telah wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 1949, pemikiran dan sejarah Tan Malaka hingga kini tetap hidup. Meski di era Orde Baru nama Tan Malaka seperti disingkirkan dari sejarah, pasca-reformasi, Tan Malaka kembali 'hidup' melalui pemikiran-pemikirannya.

Pemikiran-pemikiran Tan Malaka yang dibukukan ramai dijual di toko-toko buku. Para aktivis sejak dulu bahkan menjadikan pemikiran Tan Malaka sebagai sumber wajib yang harus diulas dan dipelajari.

Namun demikian, bukan berarti semua pihak menyukai Tan Malaka. Semasa hidupnya (1894-1949), pahlawan nasional itu kerap tak disukai. Tak hanya oleh negara imperialis, oleh bangsanya sendiri pun Tan Malaka kerap dimusuhi.

Sikap anti-komprominya kepada penjajah soal cita-cita kemerdekaan Indonesia secara 100 persen membuat Soekarno dkk tak sehaluan dengannya. Tan menolak dialog dengan penjajah jika kemerdekaan Indonesia belum diakui 100 persen, sementara Soekarno lebih memilih jalan dialog dan negosiasi dengan penjajah.

Kini, setelah puluhan tahun tiada, Tan Malaka tetap ada yang tidak menyukai. Paham komunis yang dianut menjadi alasan Tan Malaka ditolak. Maklum saja, komunis di Indonesia langsung diidentikan dengan PKI yang dituding memberontak dan membunuh para jenderal TNI AD pada 1965. Komunis di Indonesia juga kerap diidentikan sebagai atheis.

Jika dilihat dari fakta sejarah, Tan Malaka pernah menjadi ketua PKI pada 1921. Namun perbedaan haluan dan pemikiran justru membuat Tan Malaka justru pecah kongsi dan dimusuhi oleh para tokoh PKI lainnya. Musso bahkan pernah bersumpah untuk menggantung Tan Malaka. Tan Malaka lantas mendirikan Partai Rakyat Indonesia (Pari) pada 1927 di Bangkok dan pada 1948 mendirikan Partai Murba.

Tan Malaka adalah pahlawan nasional, gelar pahlawan nasional diberikan langsung oleh Presiden Soekarno pada 1963.

Seperti ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze, saat itu, kondisi kota Madiun begitu mencekam. Pesindo yang berada di bawah Amir Sjarifuddin dengan senjata lengkap menjaga akses keluar kota Madiun. Hal yang sama juga dilakukan Polisi Tentara (PT). Khawatir akan keselamatan Tan Malaka, salah seorang tokoh Masyumi, Wali Al-Fatah lantas mendatangi penguasa daerah alias Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo.

Wali Al-Fatah mengadukan kondisi tersebut. Ia berjanji akan membawa Tan Malaka kepada Susanto jika keselamatan Tan dijamin.

Wali Al-Fatah lantas bertemu dengan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio, orang yang mendapat mandat dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin untuk menangkap Tan Malaka dan pengikutnya. Wali Al-Fatah lantas menanyakan alasan rencana penangkapan Tan Malaka .

Namun, tak ada jawaban jelas dari Loebis. Ia juga menanyakan apakah Tan Malaka akan dipertemukan dengan Soekarno, tapi Loebis mengaku tak menerima perintah itu. Wali Al-Fatah lantas menemui Tan Malaka dan menceritakan perjanjiannya dengan Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo, yakni akan mempertemukan Tan Malaka dengan Soekarno untuk berunding.

"Di rumahnya Tn Susanto Tirtoprojo yang masa itu menjabat pangkat Residen di Madiun dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada saya di alun-alun, maka wakil PT berkata kepada saya; tuan akan diantarkan ke Jogja dengan wujud hendak berunding dengan Presiden," kata Tan Malaka dalam biografi 'Dari Penjara ke Penjara.'

Wali Al-Fatah mengajukan kepada Soekarno agar keselamatan Tan Malaka dijamin. Namun, setibanya di Solo, Tan Malaka dan pengikutnya justru ditahan di sebuah rumah. Mereka tak dibawa untuk berunding dengan Soekarno. Oleh PT Solo mereka ditahan sesuai surat perintah penahanan dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjariefuddin. Sejumlah pemimpin Masyumi protes atas penahanan Tan Malaka dan pengikutnya.

Mohammad Saleh pimpinan Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, H Mukti dan Dr Sukiman, atas nama Masyumi beberapa kali mengunjungi Soekarno untuk menanyakan soal penahanan Tan Malaka. Mereka juga meminta Soekarno membebaskan Tan Malaka dan pengikutnya.

"Tapi teranglah sudah bahwa mereka tidak mendapatkan hasil dan jawaban yang memuaskan," kata Tan Malaka.

Tan Malaka dapat surat wasiat Soekarno buat jadi presiden

Tan Malaka membuka identitas aslinya pertama kali kepada Soebarjo, temannya di Belanda saat masih sekolah. Dari Soebardjo Tan Malaka kemudian mendapat jalan untuk bertemu Soekarno.

Saat itu, Bung Karno mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jakarta. Bung Karno lantas menugaskan sekretaris pribadinya, Sajoeti Melik untuk mencari Tan Malaka dan mempertemukannya dengan Bung Karno.

Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze pertemuan antara Tan Malaka dengan Bung Karno terjadi pada 9 September. Pertemuan itu terjadi di rumah kediaman dokter pribadi Soekarno, dr Soeharto, di Jalan Kramat Raya No 82, Jakarta.

Pertemuan itu digelar secara rahasia. Sebab, saat itu polisi rahasia Jepang, Kempetai, sudah mengetahui jejak rekam Tan Malaka sebagai seorang pejuang. Bung Karno lantas meminta dr Soeharto merahasiakan pertemuan itu.

Kepada dr Soeharto, Tan Malaka juga mengaku sebagai Abdul Razak dari Kalimantan. Saking rahasianya, pertemuan bahkan digelar dalam kondisi gelap. Lampu penerangan di kamar pertemuan sengaja dipadamkan.

Pertemuan antara Bapak Republik Indonesia dengan sang Proklamator pun berlangsung. Bung Karno menanyakan sejumlah hal mengenai pemikiran Tan Malaka dalam buku-bukunya seperti Massa Aksi, yang sangat berpengaruh pada pemikiran politik Soekarno. Tan Malaka pun menjawabnya dengan lugas.

Dalam pembicaraan itu Tan Malaka lebih banyak bicara menerangkan soal nasib Revolusi Indonesia. Sementara Bung Karno mendengarkan 'khutbah' dari sang revolusioner. Tan menjelaskan kepada Bung Karno agar pemerintahan dipindahkan ke pedalaman. Orang-orang Belanda dan Inggris harus segera dipulangkan dan Jakarta harus dijadikan medan pertempuran melawan pasukan Sekutu yang telah menang Perang Dunia II.

Bung Karno tercengang. Gagasan Jakarta harus menjadi medan pertempuran merupakan hal baru baginya. Saking terpesona dan kagumnya, Bung Karno lantas membuat pernyataan Tan Malaka adalah penggantinya kelak.

"Kalau saja tiada berdaja lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saja serahkan kepada saudara (Tan Malaka)," kata Bung Karno.

Keduanya kemudian kembali menggelar pertemuan rahasia untuk kali kedua di rumah pemimpin Barisan Pelopor, Moewardi di Jalan Mampang, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Bung Karno kembali mengulangi janjinya menunjuk Tan Malaka sebagai penggantinya jika sekutu menangkapnya atau sesuatu hal buruk menimpanya.

Tan Malaka tak terlalu menghiraukan janji Bung Karno. Tan menilai pernyataan itu hanyalah sebagai bentuk penghormatan dari Bung Karno kepada dirinya.

"Usul memimpin revolusi tadi saya saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai tanda kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda nyata bahwa di masa lampau, benar ada suatu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya walaupun kami hidup berjauhan," kata Tan Malaka.

Meski tak menyeriusi janji Soekarno, Tan Malaka menceritakan hal itu kepada Soebardjo. Soebardjo lantas meminta Bung Karno menuliskan janjinya itu dalam sebuah pernyataan di atas kertas alias testamen politik. Sebab, saat itu desas desus Soekarno-Hatta bakal 'diambil' Sekutu karena telah bekerjasama dengan Jepang semakin ramai terdengar. Sementara Sekutu dikabarkan akan segera mendarat di Indonesia. Hal itu menuai kegelisahan. Harus ada pengganti Soekarno-Hatta.

Soekarno akhirnya sepakat membuat testamen politik pada 30 September 1945. Saat itu Tan berada di rumah Soebardjo dan tengah berbincang dengan Tan Malaka, Iwa serta Gatot. Bung Karno dan Soebardjo lantas menemui Hatta untuk meminta persetujuan atas testamen politik itu. Namun, Hatta menolak.

Hatta menawarkan ada empat pengganti dari empat aliran jika dirinya dan Soekarno ditangkap Sekutu atau hal buruk menimpa mereka. Empat orang dari empat aliran itu antara lain; Tan Malaka dari aliran paling kiri, Sjahrir dari aliran kiri tengah, Wongsonegoro wakil kanan dan golongan feodal, serta Soekiman dari Islam.

Pertemuan kembali digelar keesokan harinya, 1 Oktober 1945, di rumah Soebardjo. Namun, Sjahrir, Wongsonegoro, dan Dr Sukiman tak hadir. Testamen akhirnya disepakati. Namun, Dr Sukiman yang saat itu sulit dihubungi akhirnya digantikan oleh Iwa Kusumasumantri. Alasannya, Iwa adalah teman dekat Dr Sukiman di Masyumi.

Naskah testamen diketik oleh Soebardjo dan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta. Soebardjo mendapat tugas memberikan testamen kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Namun belakangan diketahui testamen itu tak diberikan Soebardjo kepada keduanya.

Tan Malaka lantas pergi meninggalkan Jakarta untuk keliling Jawa sesuai usul Hatta. Hal itu dilakukan agar Tan bisa memperkenalkan dirinya kepada rakyat. Namun di perjalanan, Tan banyak menemui testamen politik palsu beredar. Dalam testamen itu hanya disebut Tan Malaka sebagai calon pengganti Soekarno. Tan sendiri tak tahu siapa orang yang melakukannya.

Sejak Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 21 Februari 1949, testamen tersebut tak lagi menjadi pembicaraan. Testamen itu kemudian dihancurkan Bung Karno dengan cara dirobek-robek dan dibakar pada 1964 disaksikan oleh Aidit, SK Trimurti, dan Syamsu Harya Udaya, tokoh Partai Murba yang menyimpan testamen itu.

Tan Malaka ditangkap atas restu Rp 100 ribu dari Soekarno

Tan Malaka ditangkap pada pertengahan Maret 1946 usai menghadiri Kongres Persatuan Perjuangan (PP) ke-4 di Madiun. Saat itu seorang pemuda dari kelompok Prapatan yang juga seorang wartawan yakni Aboe Bakar Loebis mengungkapkan kegundahannya atas kondisi politik saat itu ke Perdana Menteri Sjahrir.

Pemuda yang kagum kepada Sjahrir itu berpandangan haluan perjuangan Tan Malaka yang tak mengenal kompromi dan heroik amat menyentuh rasa patriotisme. Namun, tidak rasional dan realistis. Sementara, Sjahrir mengaku sangat sukar berhadapan dengan agitasi di dalam negeri yang sangat hebat.

Atas curhat Sjahrir itu, Aboe Bakar Loebis menilai, Tan Malaka harus disingkirkan atau ditahan. Setelah berbicara dengan kerabatnya di Yogyakarta, Soebadio, keduanya lantas menemui Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin di tempat terpisah. Dua menteri itu lantas mengambil keputusan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP segera ditangkap.

Saat itu Amir dan Soedarsono memberikan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio surat perintah tertulis penangkapan Tan Malaka dkk. Keduanya ditugasi untuk melakukan penangkapan.

Rencana penangkapan terhadap Tan juga diketahui dan disetujui oleh Presiden Soekarno. Soekarno yang saat itu berada di Yogyakarta telah diberitahu soal rencana itu.

"Dari Soekarno, Loebis dan Slamet diberi uang RP 100.000 untuk biaya berlindung, dan sekretaris Soekarno meminjamkan mobilnya," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze.

Keduanya lantas berangkat menuju Madiun. Dengan bermodal surat perintah dari dua menteri, mereka meminta bantuan polisi dan TRI setempat untuk menangkap Tan Malaka dan para pengikutnya. Namun, permintaan itu ditolak. Keduanya lantas meminta bantuan kepada Ormas Pesindo. Loebis meminta Pesindo menutup akses keluar kota agar Tan Malaka dan pengikutnya di PP tak bisa keluar Madiun.

Bantuan dari Polisi Tentara (PT) Madiun juga diperolehnya. Saat itu Komandan PT Madiun, Mayor Soenadi adalah bekas teman Loebis di sekolah. PT juga menempatkan di akses transportasi massal seperti kereta. Alhasil, setelah Kongres PP berakhir, para pemimpinnya yang hendak pulang ke kota asal berhasil ditangkap antara lain; Moh Yamin, Abikoesno Tjokrosoedjoso. Tapi Tan Malaka dan Soekarni belum juga tertangkap.

Tan Malaka yang telah mendapat laporan penangkapan itu meminta para pemuda memeriksa jalan menuju Magetan yang tak dijaga. Tapi semuanya sia-sia. Pesindo dan PT ternyata telah menjaga semua akses jalan.

Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid' Tan mengatakan sebenarnya bisa saja dirinya meloloskan diri meski Madiun telah dikepung Pesindo dan PT. Sebab, dalam pelarian di luar negeri, meloloskan diri dari kejaran musuh adalah hal yang biasa baginya. Namun, Tan memilih menghadapi secara kesatria. Sebab, saat itu ramai isu tak sedap mengenai dirinya. Tan disebut hanya bisa mengritik pemerintah dan akan lari jika ada masalah.

Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya dipertemukan dengan Loebis di rumah penguasa daerah, Soesanto. Saat itu Tan dijanjikan akan dipertemukan dengan Bung Karno. Namun, hal itu dibantah oleh Loebis. Ia hanya menjamin keselamatan Tan Malaka tapi tak bisa menjamin mempertemukan dengan Soekarno.

Tan Malaka dan pengikutnya seperti Soekarni lantas dibawa menuju Yogyakarta seperti dijanjikan untuk bertemu Soekarno. Mereka berangkat dengan iring-iringan enam mobil yang dikawal ketat.

Namun, setibanya di Kadi Polo, Solo rombongan hanya tinggal dua mobil saja. Sisanya ada yang mengalami kerusakan dan pecah ban. Tan Malaka dkk lantas dipersilakan masuk ke sebuah rumah yang banyak berisi senjata api di dalamnya. Soekarni lantas diminta masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah itu kamar langsung dikunci dari luar.

"Saya memprotes kepada kepala pengantar PT Madiun dan memperingatkan perlakuan ini adalah melanggar perjanjian kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar PT Madiun menjawab bahwa dia hanya melakukan perintah saja dari PT Solo," kata Tan Malaka.

Tan lantas meminta dihubungkan dengan PT Solo. Permintaan itu dijanjikan akan dipenuhi. Tan lantas diminta menunggu di dalam kamar. Setelah Tan masuk ke dalam, kamar itu juga ikut dikunci dari luar.

Di sebelah kamarnya ternyata telah dikurung lebih dulu Moh Yamin dan di sebelah kamar Yamin ada Abikusno. Tan Malaka dan pengikutnya kemudian beberapa kali dipindahkan penahanannya ke sejumlah tempat. Tan baru dibebaskan pada September 1948.

Seumur hidup berjuang, Tan Malaka tak ikut Proklamasi RI

Selama puluhan tahun Tan Malaka memimpikan Indonesia merdeka. Meski berada di luar negeri karena dibuang oleh Belanda, Tan Malaka tak henti-hentinya memikirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pemikiran dan ide perjuangannya ditulisnya menjadi artikel dan kemudian dibaca para aktivis pergerakan kemerdekaan di tanah air. 'Naar de Republiek Indonesia alias 'Menuju Republik Indonesia' yang ditulis Tan pada 1925 dan Massa Aksi yang ditulis pada 1926, menjadi salah satu rujukan aktivis kemerdekaan di tanah air saat itu.

Karenanya, tak heran nama Tan Malaka sangat terkenal dan menjadi idola para aktivis kemerdekaan saat itu. Meski pada Agustus 1945, Tan Malaka telah berada di Jakarta, nyatanya 'Bapak Republik Indonesia' itu tak terlibat secara langsung dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Kenyataan itu menjadi penyesalan mendalam bagi Tan Malaka.

"Rupanja sedjarah Proklamasi 17 Agustus tiada mengizinkan saja tjampur tangan; hanja mengizinkan tjampur djiwa sadja. Ini sangat saja sesalkan! Tetapi sedjarah tiada mempedulikan penjesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid III.'

Absen dalam Proklamasi Kemerdekaan RI bukanlah kemauan Tan Malaka. Sang Patjar Merah sesungguhnya telah bolak balik dari Banten-Jakarta untuk menghadiri rapat pemuda yang membahas soal kemerdekaan. Tan Malaka yang saat itu menyamar dengan nama Ilyas Hussein didaulat sebagai wakil pemuda Banten.

Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze dituliskan, masa lalu Tan Malaka yang panjang sebagai orang buangan dan terus menerus dalam bayang-bayang penangkapan polisi rahasia negara imperialis, membuatnya amat berhati-hati. Tan tak mudah mempercayai orang karena mata-mata musuh yang mencarinya ada di mana-mana.

Apalagi saat itu fasis Jepang telah mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jawa. Sementara, orang yang mengaku-ngaku sebagai Tan Malaka alias Tan Malaka palsu saat itu banyak beredar. Hal itu semakin membuat Tan Malaka berhati-hati dan menutup rapat-rapat identitas aslinya.

Di Jakarta Tan Malaka mengenal dan bertemu dengan para tokoh pemuda radikal seperti Soekarni, Chaerul Saleh dan BM Diah. Tan mempelajari semangat dan sifat para pemuda itu. Intinya para pemuda tak sepakat dengan golongan tua, yakni Soekarno-Moh Hatta dkk terkait kemerdekaan RI dengan campur tangan Jepang.

Bagi mereka, kemerdekaan Indonesia harus lepas dari bau Jepang. Dalam pertemuan dengan Soekarni dkk, Tan Malaka memaparkan soal ide-ide, wawasan dan pemikirannya. Hal itu membuat para pemuda terkagum-kagum sekaligus bertanya-tanya siapa sebenarnya Ilyas Hussein itu. Tak mungkin seorang pekerja biasa di tambang romusha, Bayah, Banten, memiliki pengetahuan yang begitu luar biasa.

Soekarni yang sesungguhnya adalah pengemar Tan Malaka, bahkan menilai apa yang dibicarakan, pemikiran dan analisis politik Ilyas Hussein sama dengan semua isi buku Tan Malaka. Karena itu dia ragu kepada Hussein. Soekarni takut kalau-kalau Hussein adalah adalah seorang agen atau mata-mata Jepang yang hendak merusak perjuangan kemerdekaan para pemuda.

Pada 14 Agustus 1945, Tan Malaka datang ke rumah Soekarni. Saat itu Soekarni amat sibuk dan banyak pemuda yang keluar masuk rumahnya. Tan tak mengetahui apa yang tengah dipersiapkan Soekarni. Saat berbicang, Tan mengeluarkan analisisnya soal konstalasi dunia saat itu dan kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Soekarni amat terkesima atas analisis Tan. Usai berbincang, Soekarni lantas pergi dan meminta Tan tinggal di asrama belakang rumahnya.

Belakangan diketahui Soekarni dkk rupanya tengah mempersiapkan penjemputan paksa terhadap Soekarno-Hatta menuju Rengasdengklok untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

"Waktu djauh malam sdr Soekarni pulang sebentar. Tetapi sesudah itu saja tiada melihat mukanja lagi sampai lebih kurang satu setengah bulan sesudahnya Proklamasi. Dengan putusnja perhubungan dengan sdr Soekarni dan Chaerul Saleh djustru satu hari sebelum Proklamasi sampai satu setengah bulan sesudahnja Proklamasi maka putuslah pula perhubungan saja dengan cara pemuda jang kiranja sepaham dengan saja," kata Tan Malaka.

Beberapa bulan kemudian, akhirnya Soekarni dkk mengetahui Ilyas Hussein adalah Tan Malaka, orang yang menjadi idola mereka. Tan dan Soekarni dkk lantas berkolaborasi dalam revolusi Indonesia salah satunya membentuk Persatuan Perjuangan (PP) yang menjadi oposisi pemerintahan Sjahrier.

Seperti kata Tan, sejarah rupanya tak mengizinkannya campur tangan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah ditahan selama dua setengah tahun lamanya, Tan Malaka akhirnya dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Soekarno pada 16 September 1948 atas desakan sejumlah pihak. Setelah bebas Tan Malaka langsung mendirikan Partai Murba pada 7 November.

Tujuan pendirian Partai Murba salah satunya untuk menegakkan kemerdekaan 100 persen bagi Indonesia. Tan Malaka lantas kembali menunjukkan sikap anti kompromi dengan penjajah Belanda.

Saat Belanda kembali melancarkan agresinya, Tan Malaka mengutuk keras sikap Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta yang menolak ikut perang gerilya. Menurut Tan, Soekarno-Hatta lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda untuk ditahan ketimbang ikut perang gerilya.

Dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah', Tan Malaka meninggalkan Yogyakarta pada 12 November 1948 menuju Kediri dengan kawalan Laskar Rakyat Jawa Barat.

Tan Malaka memutuskan melakukan perang gerilya bersama pengikutnya. Keputusannya itu sejalan dengan sikap Panglima Soedirman yang memilih bergerilya ketimbang menyerah kepada Belanda. Di Kediri, Tan Malaka diberi kesempatan untuk berpidato melalui saluran radio. Tan Malaka lantas tinggal di sebuah desa bernama Belimbing dengan pengawalan Sabaruddin dan anak buahnya. Dari desa yang disebutnya sebagai markas 'Murba Terpendam' itu, Tan Malaka melontarkan kritik kerasnya kepada Soekarno-Hatta-Amir Sjarifoeddin-Sjahrir.

Tan menyebut keempat tokoh itu sebagai borjuis kecil yang bertanggungjawab atas kebijakan yang mereka buat. Mereka mengabaikan suara rakyat dan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan melakukan perundingan terhadap penjajah. Mereka lebih percaya kepada janji-janji Belanda ketimbang kekuatan rakyat. Padahal perjanjian Linggarjati dan Renvile, adalah cara Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya di tanah air.

"Ia mengakui apa sadja jang dipaksakan oleh Belanda kepada mereka. Sekali boneka tetap boneka," kata Tan Malaka dalam 'Markas Murba Terpendam.'

Menurut Tan, setelah revolusi selesai, empat orang itu harus dibawa ke depan Mahkamah Revolusi untuk mempertanggungjawabkan semua sikap dan tindakan mereka dalam menyelenggarakan bentuk dan isi Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tak hanya Soekarno dkk yang dikritik pedas Tan. Tentara pun tak luput dari kritikannya. Tan mengritik TNI di Kediri karena tak mempertahankan Kediri dari serangan Belanda. Saat itu Belanda hanya menyerang Kediri dengan satu batalion dan Letkol Soerachmad, komandan TNI di sekitar Kediri memiliki tujuh batalion tapi memilih kabur.

"25 Desember 1948 tiba-tiba tentara Belanda masuk Kediri. Tanpa memberi perlawanan sedikit pun kesatuan-kesatuan TNI lari kocar-kacir," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4' Karya Harry A Poeze.

Dalam sebuah pertemuan, Tan Malaka menyatakan kepemimpinan Soekarno-Hatta telah selesai karena lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda ketimbang melawan dengan ikut bergerilya. Tan pun menyatakan dirinya sebagai pemimpin revolusi yang baru menggantikan Soekarno-Hatta. Hal itu sesuai dengan testamen politik yang diberikan Soekarno kepadanya. Inti testamen itu Tan Malaka bersama tiga orang lainnya adalah pengganti Soekarno-Hatta jika ada suatu hal buruk menimpa. Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar bersama dengan Mayor Jonosewojo. Namun Jonosewojo belakangan membelot dan melaporkan hal itu kepada Soerahmad.

Kritik pedas dan pernyataan Tan Malaka adalah pemimpin revolusi yang baru membuat Letkol Soerachmad marah besar. Letkol Soerachmad lantas memberi perintah penangkapan terhadap Tan Malaka dan Sabaroedin pada 13 Februari 1949. Keputusan itu juga disetujui oleh Soengkono.

Tan Malaka dan pasukan yang mengawalnya kemudian ditangkap pasukan Macan Merah di Desa Belimbing pada 19 Februari 1949. Mereka lantas dibawa ke desa Sawahan. Namun, pasukan Macan Merah kocar kacir karena mendengar suara tembakan. Mereka mengira Belanda sudah dekat. Mereka akhirnya kabur dan meninggalkan Tan Malaka dkk. Padahal tembakan itu berasal dari pasukan Sabaroedin yang tengah mencari Tan Malaka.

Singkat cerita, Tan Malaka dan Sabaroedin akhirnya bertemu di Gunung Wilis, setelah sempat terjadi salah paham yang berakibat terpencarnya pasukan. Sabaroedin lantas memerintahkan anak buahnya untuk membawa Tan Malaka ke Trenggelek, dengan harapan di sana TRIP akan menemukan tempat yang aman. Namun untuk sampai ke tujuan, harus melewati wilayah yang menjadi basis loyalis tentara Soerachmad.

Tan Malaka dan Sabaroedin pun berpisah ke tempat tujuan yang berbeda. Nahas bagi Tan Malaka. Bapak Republik Indonesia itu ditangkap Letda Sukotjo dan anak buah di Desa Selopanggung. Saat penangkapan terjadi, para pengawal kabur meninggalkan Tan Malaka yang saat itu kakinya tengah terluka dan kesulitan untuk berjalan. Sukotjo lantas memerintahkan anak buahnya, Suradi Tekebek untuk menembak mati Tan Malaka pada 21 Februari.

"Setelah terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka, Hatta memberhentikan Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerachmad sebagai Komandan Brigade karena kesembronoan mengatasi kelompok Tan Malaka," demikian dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejara.'

Hingga kini belum ada kepastian soal di mana Sang Revolusioner dimakamkan. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Harry Poeze yakin Tan Malaka dimakamkan di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.

Alhasil, pada 12 November 2009 lokasi yang diduga makam Tan Malaka itu dibongkar. Hingga kini tes DNA atas kerangka di dalam makam masih belum membawa hasil.

Misteri kematian Tan Malaka, antara Petok atau Selopanggung


Dalam buku Soerachmad prajurit pejuang, Tan Malaka adalah orang yang cerdik dengan julukan 'Trotskyist'. Buktinya Mayor Sabaruddin ditugaskan untuk mengawal Tan Malaka oleh Kolonel Soengkono dapat dipengaruhinya, salah satunya memberikan kebebasan pada Tan Malaka untuk menyampaikan pengumuman di radio bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Tan Malaka pasca-Soekarno Hatta ditangkap Belanda.

Peristiwa itu terjadi bersamaan agresi militer ke-2 Belanda memasuki wilayah Kota Kediri. Peristiwa itu terjadi ketika Tan Malaka bersama pasukan Sabaroedin berada di wilayah Gringging Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri. Di dekat daerah itu pula markas Divisi I/ Gubernur militer Jawa Timur di bawah panglima Devisi. Kolonel Soengkono dengan kompi 'deckingnya', Kompi Macan Kerah dengan Komandan Kapten Sampoerno.

"Sebelum ditangkap atas perintah Kolonel Soengkono, Tan Malaka pernah menginap di rumah bapak saya ketika itu bapak saya adalah kepala desa di daerah Gringging," kata (alm) dr Karman dokter yang praktik di Jl Hayam Wuruk Kota Kediri pada tahun 2011.

Selain mengumumkan bahwa dirinya adalah Presiden RI, Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar. Sebelumnya Tan Malaka pernah menawari Mayor Jonosewojo, namun ditolak.

Pidato Tan Malaka yang menyatakan bahwa dirinya adalah Presiden RI membuat Letkol Soerachmad marah besar dan memanggil Letnan I Seokadji Hendrotomo yang pada waktu itu adalah komandan kompi 'decking' Komando Brigade S/KMD Kediri untuk menangkap Tan Malaka dan Sabaroedin.

Dengan secepat kilat kompi Soekadji Hendrotomo berhasil menangkap Tan Malaka dan Kompi Macan Kerah berhasil menangkap Sabroedin. Saat penangkapan itu pasukan Belanda menggempur wilayah Kediri dan Markas Devis I yang dipimpin Kolonel Soengkono. Tan Malaka berhasil ditangkap dibawa ke jurusan selatan di daerah Mojo oleh Kompi Soekadji Hendrotomo tepatnya di daerah Petok.

Tan Malaka dieksekusi bersama para pengawalnya Kapten Dimin, Ali dan Teguh di daerah Petok Mojo. Keterangan Soerachmad dalam bukunya berbalik 90 derajat dengan penelusuran yang dilakukan merdeka.com dengan peneliti sejarah Tan Malaka, Harry A Poeze sejak 2007 lalu.

Harry A Poeze yang yang juga mantan Kepala Penerbit KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) yang menjelaskan berdasarkan riset yang dilakukannya terkait kematian Tan Malaka, menyebutkan Tan dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letkol Soerachmad.

Rekontruksi awal penelusuran ini adalah ketika merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (50) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998). Atas jasa Syamsuri itulah merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) (sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu banyak memberikan keterangan tentang tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.

"Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namannya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya. Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya.

"Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Soerachmad, Letnan Dua Soekotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.

Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerachmad, dan juga Soengkono, penulis pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letkol Soerachmad. Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.

Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Brigade S atas perintah petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas.

Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya, penulis mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka. Dari situlah kemudian dia kembali teringat.

"Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.

Soal di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.

"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan 'Di sinilah tempat hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.

"Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan sangking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu," kata Tolu.

Lalu kemana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setelah pasukan TRI meninggalkan desa?

"Saya tidak tahu itu sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami Bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh," tambahnya.

Menurut Tolu tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya. Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar yang tepat berada di belakang rumahnya.

"Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung. Dan ada satu lagi yang usianya dibawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya," ungkapnya.

Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di kaki Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, penulis sendiri pernah mendampingi Poeze bersama dua keluarga Tan Malaka yakni Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, SH yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

"Meskipun agak berbau mistis ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini, Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini, dugaan kami ini kuat, sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S," ujar Poeze.

Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat di timur lokasi dimana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.

Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang tewas dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas Desa Petok Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Poeze mambantah keras. "Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung," katanya. (Merdeka.com)

Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:

http://sufipedia.blogspot.com
Visit Sufipedia

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:





http://paseban-jati.blogspot.co.id/p/donasi.html
Visit Donasi Paseban Jati

Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Menelusuri Perjalanan Tan Malaka. Jika menurut Anda Menelusuri Perjalanan Tan Malaka bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top