Bagi tasawuf Jawa Al - Qur’an terbagi atas dua macam pertama Qur’an garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab basah). Kitab garing adalah kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat didalam hati. Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya karena ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai lampu penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak berjalan dalam kegelapan.
Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah, atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formalisme syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih, dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari Serat Nitisruti Pupuh Dhandhanggula bait 11~14 karya Sunan Kajenar yang terjemahannya sebagai berikut:
“Maksud ajaran yang permulaan mengenai kududukan ulama, bilamana sudah benar sesuai penempatannya, jujurnya perasaan didalam hati tiada tabir, karena sudah waspada kedudukannya yang di sembah dan yang menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia yang sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh bodoh pemikirannya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha, mengambil teladan guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan sejati. Maksud rasa hati yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri sudah sirna, mencegah segala yang tidak baik, bagaikan tubuh yang cantik, yang demikian itu bilamana, sudah sampai luar dalam, akhirnya selaras bersih tak bercampur, dalam suasana yang indah yang di sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali sebenarnya yang demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna rasanya, sedangkan yang tidak tau, pengetahuan yang diuraikan, tak dapat diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan yang dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budinya . . .’’
Pupuh diatas sangat mewakili ajaran mistik dan makrifat Islam Jawa. Terutama yang di sebarkan oleh Sunan Kajenar dan Sunan Kalijaga. Mistik makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi’’ adalah praktek kontak spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengalaman psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku (salik) akan selalu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas dapat dinyatakan bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata, maka keadaan yang sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama (al-halawat al-iman), atau apa pun namanya dari buah lelaku tersebut niscaya tidak dapat dirasakan dan tidak bisa diperoleh.
Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan, suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu sangkan paraning dumadi (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Dalam hal ini syariat bukanlah sekedar aturan-aturan formal keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi sebagai fiqih. Sekarang ini kata-kata “syariat islam’’ telah direduksi oleh para agamawan hanya sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam berbagai karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk perjalanan ulama dalam sejarah Islam, bukan syariat itu sendiri. Sedangkan syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.
Adapun cara untuk menempuh laku syariat itu di sebut sebagai tarekat, yang tentu terkait dengan masing-masing tempat, zaman, tradisi dan budaya yang berbeda. Praksisme keagamaan inilah yang pernah diusung oleh parah tokoh sufi Jawa pada abad ke 15 yang lalu. Dalam hal ini bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui proses tirakat atau lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang pertama kali harus diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri sendiri atau introspeksi. dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk mengendalikan hawa nafsu. Tahapan utama untuk ini adalah khalwat, tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng dan hening). Jika proses ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari ilham yang di peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah ber-musyahadah (menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau buah iman. Dengan demikian maka kita berjalan menuju kepada-Nya, kita menyatu dengan-Nya, dan kita telah membangun sikap hidup yang berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri.
Dalam sistimatika makrifat Jawa persoalan sholat mendapatkan perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup signifikan untuk dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya sholat. Dalam Qur’an sholat dikategorikan menjadi dua seperti firman Allah SWT : “Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam sholat) yang khusyu’ “ (QS. Al-Baqarah/2 : 238).
Dalam sistem Islam Jawa makna sholatmu dalam ayat tersebut mengacu pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati. Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud, duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah shalat wustha. Yang di maksud secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah ”diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat ini adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara bawah dan atas, dan antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga di ibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkan kemana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat yang Maha Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah, yang kasih sayang, yang lemah lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakannya tidak akan mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi kekhusukan itu berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda Rasulullah : ‘’Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati . . . ’’.
Kekhusukan hati akan membawa shalat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal : tempat, waktu, kesucian badan, pakaian dan sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus-menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berdzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah. Imamnya dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat daim yang di ajarkan oleh guru saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang bijak seperti Sunan Kajenar dan Sunan Kalijaga dan sebagainya.
Nah, shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tidur. Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah berbincang-bincang dengan Allah. Sebagaimana firman Allah: ‘’Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan’’. (QS. Al-Fatihah/1 : 5).
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah mengalami beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau keesaan Allah dan berpadu dengannya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah. Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan ‘’Allahu Akbar’’. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji kebesaran Dzatnya.
Jadi takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hambanya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya. Takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Kemanapun kita menghadap yang ada hanya wajah Allah. Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, Roh dan Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya masuk kehadirat Allah, hatinya berpadu mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang alim dan wara’. Dalam alam rohani ia menjadi hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tahu makna hakikatnya mendapat kritik tajam dari Sunan Kajenar sebagai berikut:
‘’Syahadat, shalat, puasa semua tanpa makna termasuk zakat dan haji ke Mekkah itu semua telah menjadi palsu tidak bisa di jadikan panutan hanya menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk lain, hanya ingin surga kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara kenyataanya sama saja belum mencapai tahapan hening’’.
Sunan Kajenar mengkritik pelaksanaan hukum fiqih pada masa kerajaan Demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak, yang belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi Jawa dan para sufi lainnya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan shalat yang fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya mengandalkan hukum fiqih semata. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut telah melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan Kalijaga pun memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut :
Terjemahannya “ . . . wahai anak cucuku, setiap engkau menyelesaikan shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat daim, shalat kekal, shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan bacaan istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci dikala engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya hanya satu : niat menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan memberikan kebajikan kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan mencapai saat kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna dikaruniai rahmat Allah’’.
Jadi shalat daim tidak terbatas oleh waktu, keadaan atau batasan-batasan yang lain. Dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga menegaskan bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu untuk menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur, bersenggama, maupun buang kotoran.
Sunan Bonang pun memiliki ajaran shalat daim sebagai berikut: “Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama’’.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya di lakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya, yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di dalam diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk tidak menebar kekejian dan kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan lil ‘alamin.
Dalam Suluk Wujil Sunan Bonang pun memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunanya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba’’.
Orang yang melaksanakan sembahyang, akan tetapi tidak bisa mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan Tuhan, dalam ajaran suluk Islam Jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika shalat hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang disembah.
Dalam Suluk Wujil Sunan Bonang berkata :
“Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya’’.
Dalam Serat Wedhatama di sebutkan bahwa shalat merupakan sembah raga, yang pelakunya baru disebut magang, agar ia dapat menjalankan penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya di sebut sebagai riyadhah (latihan). Adapun tujuan dari sembah raga adalah untuk memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat daim/Dzikir yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka pelaksanaannya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya hanya ditujukan kepada Allah. hal tersebut dinyatakan dalam suluk supanalaya, bahwa dzikir harus dengan amuntu hakikat.
Yakni dengan mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau hidayat Tuhan. Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa diberikannya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan bisa manunggal dengan Allah. Apa yang diciptakan terjadi, dan yang dikehendaki terlaksana. Selamat merenungkan galilah wawasan dari mana saja datangnya untuk pengetahuan.
Seperti telah banyak disinggung-singgung sebelumnya, bahwa di dunia ini GUSTI ALLAH menciptakannya secara berpasang-pasangan. Ada siang - ada malam, Ada baik - ada buruk, Ada besar - ada kecil. Demikian pula Gusti Allah menciptakan Kitab ajaran bagi manusia itu berpasangan. Ada Kitab secara agama, seperti Al Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan lain-lain yang disebut 'kitab kering'. Selain itu, GUSTI ALLAH juga menciptakan kitab yang disebut 'kitab teles (kitab basah)'. Apakah kitab basah itu?
Kitab 'basah' itu adalah semua ciptaan GUSTI ALLAH di muka bumi ini.
Kitab 'kering' dan 'basah' itu sama-sama merupakan petunjuk dari GUSTI ALLAH pada semua umat manusia yang ada di dunia ini. Jadi, selain mengaji pada 'kitab kering', kita juga harus mengaji pada 'kitab basah'.
GUSTI ALLAH dalam sebuah surat di Al Qur'an berfirman yang kurang lebihnya berbunyi "Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi, maka kamu akan mengetahui kekuasaanKU bagi orang-orang yang berpikir". Dari arti ayat Al Qur'an tersebut yang perlu diperhatikan adalah kata-kata 'berjalan-jalan di muka bumi' dan 'bagi orang-orang yang berpikir'. Apakah maksud kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu bermaksud bahwa semua yang ada di muka bumi ini, apakah itu hewan, tumbuhan, gunung, sungai, awan, langit, dan masih banyak lagi adalah merupakan kekuasaan GUSTI ALLAH.
Demikian pula dengan manusia. GUSTI ALLAH menyempurnakan kehidupan manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi. Sedangkan kata-kata 'bagi orang-orang yang berpikir', merupakan sindiran dari GUSTI ALLAH kepada kita manusia. Artinya, apakah kita termasuk orang-orang yang berpikir dan menggunakan otak kita untuk memahami kekuasaan GUSTI ALLAH atau tidak. Atau malah pikiran kita yang buta dan termasuk orang yang tidak berpikir tentang kekuasaan GUSTI ALLAH. Sebagai makhluk mulia, seharusnya kita yang dibekali dengan pikiran dan akal sehat harusnya menggunakan pikiran dan akal sehat itu untuk meneliti, mempelajari, setelah itu, memuji kehebatan ciptaan GUSTI ALLAH, selanjutnya adalah Manembah (menyembah) GUSTI ALLAH dengan penuh keyakinan.
Coba Anda perhatikan, Dalam surat Al Qur'an juga disebutkan bahwa dalam penciptaan Siti Hawa, GUSTI ALLAH mengambil salah satu tulang rusuk Nabi Adam. Apa buktinya? Ternyata kita bisa membuktikannya lewat hasil rongent antara seorang laki-laki dan perempuan. Tulang rusuk laki-laki jumlahnya 9, sedangkan tulang rusuk perempuan berjumlah 10. Bukankah itu tanda-tanda yang cukup jelas bagi orang-orang yang berpikir? Coba Anda pelajari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu daunnya berwarna hijau ketika masih muda, lalu mulai berubah hijau kekuningan, dan berlanjut menjadi kuning kemudian rontok. Apa yang bisa kita pelajari dari situ? Ternyata kita manusia ini juga mengalami proses hidup layaknya tumbuh-tumbuhan, dari muda (hijau), remaja dan dewasa (hijau kekuningan) dan masa tua (kuning), kemudian mati (rontok).
Dari berbagai contoh di atas, setidaknya menjadi pertimbangan bagi Anda semua. Bahkan yang dipikirkan di dunia ini tidak melulu hanya harta dunia yang tidak kekal saja. Tetapi juga memikirkan ciptaan GUSTI ALLAH. Coba Anda lebih banyak memikirkan makhluk-makhluk ciptaan GUSTI ALLAH yang ada di muka bumi. Pasti! Anda akan menjadi lebih dekat dengan sang Pencipta. Tidak ada Tuhan selain GUSTI ALLAH semata. (jalantrabas.blogspot.com)
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa. Jika menurut Anda Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus