Keris Kiai Bondoyudo
Sebuah pusaka Pangeran Diponegoro yang sering terlihat di lukisan dan gambar sang pangeran adalah sebilah keris. Keris ini terselip di pinggang Diponegoro dan terlihat jelas di balik jubah putihnya. Keris ini bernama Kiai Bondoyudo.
Salah satu gambar Diponegoro membawa pusaka ini terlihat di lukisan karya AJ Bik yang dilukis di Batavia pada 1830. Lukisan ini dipakai sebagai gambar cover buku karya Peter Carey berjudul Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Peter menulis, dalam lukisan itu terlihat Pangeran mengenakan busana ulama yang dipakainya selama Perang Jawa (1825-1830). Pakaian ini berupa sorban, baju koko tanpa kerah dan jubah. Sebuah selempang tersampir di bahu kanan dan keris pusaka Kanjeng Kiai Bondoyudo terselip di ikat pinggang yang terbuat dari sutra bermotif bunga-bunga.
Dalam lukisan itu terlihat pipi Diponegoro agak cekung, menonjolkan tulang pipi Pangeran. Hal ini disebabkan serangan malaria yang dia derita sejak menjadi pelarian di hutan-hutan Bagelen pada masa akhir perang.
Dalam bukunya Peter menjelaskan, keris Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lainnya. Nama Bondoyudo berarti Jago Duel Tanpa Senjata. Keris ini digunakan Diponegoro untuk mengobarkan semangat tempur balatentaranya di masa-masa sulit selama melawan Belanda.
Tak seperti pusaka lainnya, keris ini terus dibawa Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya. Setelah kalah perang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Manado lalu ke Makassar.
Pangeran Diponegoro wafat pada Senin 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam, Makassar. Diponegoro wafat persis setelah matahari terbit pada pukul 06.30 WIB. Dia wafat saat usianya mencapai 70 tahun. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar, bersama dengan keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
Keris Kiai Nogosiluman
Selain keris Kiai Bondoyudo yang dikuburkan bersama jasad Pangeran Diponegoro, masih ada keris yang tercecer. Keris itu bernama Kiai Nogosiluman, yang mestinya dilacak pemerintah RI.
"Yang paling penting adalah keris Diponegoro, Nogosiluman, yang dikirim ke Belanda sebagai tanda penaklukan dari Diponegoro. Serta, keris dari Hamengkubuwono kedua," demikian kata sejarawan peneliti Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey menjawab pertanyaan tentang berapa banyak peninggalan Diponegoro yang masih terserak di luar negeri.
Peneliti naskah "Babad Diponegoro" selama 40 tahun ini menekankan pentingnya keris Kiai Nogosiluman ini, karena keris itu dirampas dan dikirim ke Belanda bersama Tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda, sebagai bukti sang pangeran telah ditaklukkan dan ditangkap pada 11 November 1829. Keris, tombak dan pelana diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840 di Den Haag.
Raden Saleh, pelukis yang sedang magang di Belanda antara 1830-1839 dipanggil Istana di Den Haag untuk mendeskripsikan benda-benda pusaka, termasuk keris Kiai Nogosiluman.
Kemudian, pihak Kerajaan mengeluarkan beberapa benda pusaka, ada yang dikembalikan ke Indonesia, ada yang dihadiahkan kepada organisasi veteran perang. Yang sudah dikembalikan ke Indonesia adalah tombak dan pelana kuda, pada tahun 1978 oleh Ratu Juliana, di bawah ketentuan Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia tahun 1968. Yang dihadiahkan ke organisasi veteran perang adalah keris Kiai Nogosiluman.
Kini, keberadaan keris Kiai Nogosiluman itu simpang siur. Informasi terakhir yang diketahui Peter, keris itu berada di dalam museum etnografi di Leiden, Belanda.
"Keris Nogosiluman itu harus dilacak. Harus ada pengumuman, kalau bisa kirim pawang ke sana (Belanda), seorang dukun untuk lihat, bagaimana, di mana itu," kata Peter setengah bercanda.
Jubah Diponegoro
Jubah Sabil milik Pangeran Diponegoro kini disimpan di Museum Bakorwil II Magelang, Jawa Tengah.
Ada beberapa kondisi di mana jubah itu dimakan rayap. Tidak di tempat yang benar. Jubah dimasukkan lemari, tidak ada perlindungan pada rayap. Hanya digantung begitu selama 40 tahun," kritik Peter.
Jubah perang sabil Diponegoro usai Perang Jawa 1829 disimpan oleh putra menantunya, Basah Mertonegoro dan disimpan turun temurun selama 100 tahun atau 1 abad. Kemudian pada tahun 1970-an, pusaka itu dipinjamkan secara permanen ke Museum Bakorwil II Magelang, yang memajangnya di Ruang Diponegoro.
Di museum itu, jubah itu menjadi objek pemujaan, para pengunjung kerap menarik sejumput sutra untuk disimpan sebagai jimat. Akibatnya, bagian bawah jubah kerap ditambal karena pengambilan ilegal itu.
Tongkat Kiai Cokro
"Tongkat ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar segala kegiatannya diberkati," demikian tertulis dalam kertas yang terselip di ujung tongkat, yang diduga ditulis sendiri oleh JC Baud, Gubernur Jenderal Belanda yang bertugas 1833-1836 yang mendapatkan tongkat ini dari Pangeran Notoprojo Juli 1834.
Dalam buku katalog tongkat ini, "A Lost Pusaka Returned" , yang diterbitkan Rijks Museum, Goethe Institute Erasmus Huis yang dibagikan di pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (6/2/2015),disebutkan bahwa tongkat itu jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro sekitar 10 tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, sekitar tahun 1815.
Diponegoro mendapatkan tongkat itu dari seorang warga biasa asal Jawa. Tongkat itu dinamakan Tjokro atau Cakra karena ujungnya bulat seperti bulan.
Simbol cakra sepertinya memiliki makna penting bagi Diponegoro, mengingat cakra adalah senjata Dewa Wisnu, yang inkarnasinya yang ke-7 sebagai penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau Herucakra.
Diponegoro memulai memakai gelar ini di awal Perang Jawa dan menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Panji pertempuran Diponegoro menggunakam simbol cakra dengan panah menyilang.
Kemudian, setelah Perang Jawa berakhir, tongkat itu jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo. Waktunya kemungkinan 11 Agustus 1829, saat Diponegoro melakukan kampanye terakhir di wilayah Mataram. Dari Notoprojo inilah, tongkat ini sampai pada JC Baud.
Naskah Asli 'Babad Diponegoro'
'Babad Diponegoro' yang bersumber dari penuturan langsung Pangeran Diponegoro sudah diakui UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013. Yang diakui adalah kopi dari naskah asli yang diteliti otentik oleh sejarawan. Naskah aslinya sudah hilang. Ke mana?
Kopi naskah yang otentik dan diakui UNESCO ini diungkapkan oleh sejarawan asal Inggris, Peter Brian Ramsey Carey.
"Bukan yang asli. Yang babon asli sudah hilang," kata sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti tentang 'Babad Diponegoro' dan menuliskan penelitiannya dalam buku berjudul "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1985-1855".
Hal itu dikatakan Peter usai peluncuran dan bedah buku "Strategi Menjinakkan Diponegoro" yang ditulis sejarawan Saleh As'ad Djamhari di Freedom Institute, Jalan Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014) malam.
Namun ada kopian yang dibuat oleh Belanda dari aksara Arab pegon (Arab gundul tanpa tanda baca-red) dan aksara Jawa. "Dan aksara pegon adalah mirip dengan yang asli, sebab yang asli ditulis dalam huruf pegon," jelas pria yang sudah lama tinggal di Indonesia ini.
Naskah yang diakui UNESCO adalah naskah kopian otentik yang dituturkan langsung Pangeran Diponegoro kepada juru tulis selama pengasingannya di Manado antara bulan Mei 1831-Februari 1832. Naskah itu dituliskan dalam bentuk 'macapat' alias tembang atau puisi tradisional Jawa.
"Dan Diponegoro juga menulis di Makassar, 2 buku catatan seperti primbon mengenai pengaruh Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf-red) terhadap cara berpikir dan kebudayaan Jawa. Jadi, dia menulis beberapa naskah. 1 Naskah di Manado, 2 naskah di Makassar," jelas adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI ini.
Untuk naskah yang ditulis di Manado, yang diakui UNESCO, kopi naskah otentiknya tersimpan 1 kopi di Perpustakaan Nasional dan 1 kopi Rotterdam, Belanda, masing-masing menggunakan aksara Arab pegon dan aksara Jawa.
Lantas, mengapa naskah asli itu 'Babad Diponegoro' itu bisa hilang?
"Sebab itu dipinjam, sering dipinjam keluarga dan pada akhirnya tidak dikembalikan," jawab sejarawan lulusan Trinity College, Oxford, Inggris, dan Universitas Cornell, AS ini.
Isi 'Babad Diponegoro' dari penuturan Diponegoro itu semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Isinya ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Babad dari penuturan Diponegoro ini semacam otobiografi Diponegoro, menariknya, diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.
Menurut Carey, Diponegoro mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.
'Babad Diponegoro' yang Legendaris Terbit di Malaysia dan Belanda, Tapi di RI Tak Ada
"Kapan Perang Diponegoro terjadi? Selepas maghrib". Itu adalah salah satu jembatan keledai paling terkenal saat sekolah untuk menghapalkan tahun perang Diponegoro: 1825-1830. Namun pamor 'Babad Diponegoro' di Indonesia rupanya tak setenar jembatan keledai itu.
'Babad Diponegoro' adalah naskah kuno yang berisi kisah hidup Diponegoro atau perang Diponegoro. Menurut sejarawan asal Inggris, Peter BR Carey, ada beberapa penulis yang menuliskan kisah hidup Diponegoro dan perang Diponegoro itu, termasuk Pangeran Diponegoro sendiri.
"Ada naskah yang mungkin tidak ditulis tapi didiktekan, diceritakan oleh Diponegoro, pada 1 orang juru tulis yang membuat 1 bentuk macapatan dari Babad, itu ditulis di Manado (tempat pengasingan Diponegoro) antara bulan Mei 1831 dan Februari 1832, 9 bulan. Dan itu diakui oleh PBB," kata Prof Peter Brian Ramsey Carey menjawab pertanyaan detikcom tentang berapa versi Babad Diponegoro sebenarnya.
Naskah yang diakui UNESCO, diceritakan dari mulut Diponegoro sendiri itu ada 2 naskah. Naskah satu berbahasa Belanda dan naskah kedua dalam aksara pegon berbahasa Jawa.
Ada pula naskah 'Babad Diponegoro' tentang perang Diponegoro yang dituliskan Yosodipuro II dari Keraton Surakarta. Nah, Peter awalnya menawarkan naskah yang dituliskan Keraton Surakarta ini kepada penerbit di Indonesia, tapi tak ada satupun yang tertarik menerbitkannya. Jadi, dia pun menawarkan ke penerbit di Malaysia.
"Iya, saya tidak tahu di sini, tapi itu diterbitkan di Malaysia," jelas dia.
Di Malaysia, buku 'Babad Diponegoro' yang ditulis Yosodipuro II itu terbit dengan judul "An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830)" dan Peter sebagai editornya.
Peter mengilustrasikan, bila sekarang pergi ke toko buku di Indonesia, di bagian sastra atau novel, maka orang akan mendapati berbagai macam judul karya sastrawan Inggris, William Shakespeare. Namun, ironis, naskah Nusantara seperti 'Babad Diponegoro' malah tidak ada sama sekali.
"Terbit di Malaysia dan terbit di Belanda. Di Indonesia belum ada, harus diterbitkan kembali," imbau sejarawan lulusan Trinity College Oxford dan Universitas Cornell, AS ini.
Sedangkan untuk diakui UNESCO, naskah versi kisah tutur langsung dari Diponegoro, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro dibantu Prof Peter Brian Ramsey Carey dari Trinity College, Oxford, Inggris, yang juga adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI, mencari naskah asli 'Babad Diponegoro' hingga Belanda. Akhirnya naskah 'Babad Diponegoro' berhasil diterima UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013.
Sementara dalam situs UNESCO, 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern dan menunjukkan sensitivitas yang luar biasa atas kondisi dan pengalaman lokal saat itu.
Peter Carey memaparkan 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi dan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasingannya di Manado pada 1831-1832. Namun Diponegoro tak menulisnya sendiri, dia menuturkannya kepada seorang juru tulis.
Isi 'Babad Diponegoro' itu, Carey menambahkan, semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Dalam folio itu ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Yang menarik, otobiografi Diponegoro ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.
Diponegoro, imbuh Carey, mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.
"Setelah dia meninggal, naskah ini diambil dan diterjemahkan oleh Belanda. Karena ini bisa menjelaskan pikiran pribumi. Bagi seorang sejarawan, Bapak Diponegoro adalah sumber bagi sejarawan yang sangat berbobot dan menarik," jelas Carey di dalam acara penyambutan pengakuan UNESCO di Aula Gedung A lantai 2, Kemendikbud, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (3/7/2013) lalu.
Sumber:
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Mengenang Pangeran Diponegoro Melalui Pusaka dan Peninggalannya. Jika menurut Anda Mengenang Pangeran Diponegoro Melalui Pusaka dan Peninggalannya bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus