Paseban Jati

1
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan.

Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan peperangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain:

“Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”.

Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab: “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”

Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.

Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri bertanggungjawab atas pecahnya peperangan. Namun ia tetap menolak menyerah dan menyatakan lebih baik mati.

Pan wus yekti nora nana maning
Begja pinatenan
Ingsun tan nedya gumingsir

Sesungguhnya tidak ada lagi
Sekalipun dihukum mati
Saya tidak akan menyerah

Dalam kondisi emosional, Diponegoro sempat berpikir untuk membunuh Jenderal De Kock. Namun niat tersebut ia urungkan mengingat akibatnya kurang baik.

Pan sansaya enget tyasnya Sri Bupati
Lamun matenana
Ingsun marang jendral iki
Nora becik temahira

Terpikir oleh Sri Raja
Seandainya membunuh
Jenderal
Tidak baik akhirnya.

Kesadaran itu membuatnya bersikap pasrah terhadap takdir. Ia memutuskan untuk meninggalkan Tanah Jawa karena tidak ada yang dimilikinya lagi di sana. Keputusan itu juga untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan karena membela dan melaksanakan perintah.

Tujuan Diponegoro mencapai cita-cita ini terus dilakukannya, meski ia tahu bahwa ia akan kalah. Bukan keberhasilan mencapai tujuan ini yang menjadi fokus utama Diponegoro. Baginya, konsisten dalam menjalani proses adalah sebuah kemenangan tersendiri.

Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya (Kyai Mojo) dibawa ketempat pembuangannya di Menado.

Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun.

Perang ini juga memberi dampak yang cukup dahsyat pada keluarga dan keturunan Diponegoro. Bertahun-tahun lamanya keluarga Pangeran Diponegoro dikucilkan dan diasingkan oleh kalangan keraton karena tindakan perjuangan perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Kondisi ini baru pulih setelah Diponegoro mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973.

Pasca kemenangan di perang Diponegoro, Belanda mulai melakukan demiliterisasi di kalangan masyarakat Jawa. Kekhawatiran terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan tanam paksa, pasukan keraton juga didemobilisasikan.

Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:

http://sufipedia.blogspot.com
Visit Sufipedia

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:





http://paseban-jati.blogspot.co.id/p/donasi.html
Visit Donasi Paseban Jati

Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Detik-Detik Penangkapan Pangeran Diponegoro. Jika menurut Anda Detik-Detik Penangkapan Pangeran Diponegoro bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger Disqus

  1. pasukan mana yang menangkap Diponegoro? Groos Major Tololiu Hermanus Willem Dotulong

    ReplyDelete

 
Top