Menurut ajaran Sunan Kajenar, tanda kehidupan itu adalah berdasarkan dalil hidup tidak akan mempan kematian, abadi selama-lamanya. Maka kehidupan sesungguhnya dapat di capai apabila sudah mampu menyatukan diri bersama Dzat Allah. Atas dasar itulah ia mengatakan bahwa alam didunia ini disebut alam kematian, bukan kehidupan. Ia berkata, ‘’itulah sebabnya didunia yang saya tempati sekarang ini saya namai alam kubur. Di dunia ini saya menemukan raga bersifat jasad, sesuai dengan dalil al-‘alamu kullu maujudin yang artinya dalam tiap-tiap alam, manusia menemukan raga bangkai. Maka sekarangpun sudah nampak.
Hidup saya di dunia ini menemukan wujud jisim, tiang, sumsum, otot, serta daging. Saya tersesat di dalam dunia kematian ini. Di sini saya berjumpa dengan penyesatan agung, goda rencana, iblis, setan, dan neraka yang banyak sekali jumlahnya. Di dunia ini pula jisim terbelenggu rantai dan air panas. Saya sungguh menyesal dalam keadaan mati di dunia ini. Menggunakan panca indra yang bersifat baru, perut dan isi perut selalu minta diisi. Haus dan lapar sudah saya derita, sakit dan sedih sudah saya alami, darah dan daging turut menumpang, padahal semua itu akhirnya menjadi debu’’.
Sama halnya dengan Sunan Kajenar, Wali Songo juga mengajarkan bahwa hidup sejati hanya bisa diraih jika sudah meniadakan kediriannya sebagai manusia yang menyatukan diri dengan Dzat Tuhan yang abadi selamanya. Caranya adalah dengan tanazul dan taraqi, yakni memahami dan mempraktikan ajaran martabat tujuh secara menurun dan mendaki.
1. Tanazul (menurun)
1. Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah Tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh Syekh Siti Jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya.
Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yanga akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri Tuhan. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firmannya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun (jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’ maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan. Sunan Kajenar lalu menolak mengatakan manusia dan alam semesta ini sebagai ciptaan. Namun mereka ada karena menemukan keadaan. Ibarat ombak yang menemukan keadaanya dari samudra. Ombak pada dasarnya tidak ada, namun merupakan bagian dari samudra tersebut. Demikian konsep penciptaan menurut Sunan Kajenar dan pada akhirnya diyakini oleh Wali Songo dan para sufi lainya.
Penampakan Tuhan ini berjalan secara menurun dan penurunan yang pertama adalah sebagai nur muhammad. Orang Islam menyebutnya sebagai Allah. Atas dasar ini sunan Kajenar menolak menyebut Allah sebagai Tuhan sejati. Allah hanyalah nama untuk menyebut diri Tuhan. Padahal sejatinya dia tidak bisa di jangkau dengan nama. Menurutnya, menyebut nama Allah adalah suatu kebohongan, kedurjanaan dalam beragama. Allah ada karena. Ini hanyalah nama untuk mempermudah pengenalan terhadapnya saja, tidak mewakili Tuhan sesungguhnya. Nur muhammad /Allah tiada beda, setidaknya demikian menurut Sunan Kajenar.
2. Penampakan Tuhan kedua dengan nama Allah ini sudah mengurangi kesempurnaan diri-nya. Sekali lagi Sunan Kajenar dan murid-muridnya enggan menyembah Allah. Dia mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam Dzatnya. Mereka engan untuk sholat di masjid, puasa, zakat, serta haji dengan harapan surga sebagaimana yang di janjikan Allah melalui Nabi Muhammad.
Penurunan ini bukan berarti bahwa Tuhan ada dua. Tetap satu. Dia hanya menampakkan diri dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.
3. Rupanya, dengan penurunan diri dengan nama Allah ini pun masih belum cukup dikenal secara mudah. Maka Tuhan menurunkan diri lagi menjadi bersifat kemakhlukan, yakni Nur Muhammad yang tidak lagi bernama Allah. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.
4. Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini. Atas dasar ini pulalah Sunan Kajenar mengatakan bahwa kehidupan makhluk ini hanya semu saja karena berasal dari sumber yang kecil, Kehidupan.
5. Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, setan, iblis, jiwa manusia, surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.
6. Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidak sempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.
7. Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat Maulana Wajibul Wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirinya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh Wali Songo dan Sunan Kajenar akhirnya bermuara pada penyatuan kepada DZAT yang sejatinya.
2. Taraqi (mendaki)
1. Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. Padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya berorientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainnya. Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataannya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapat melihat Tuhan.
2. Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat. Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’anafalaa ta’qilun. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainnya.
Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal Tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti : surga, neraka, malaikat, setan, pahala, dosa dan sebagainya. Agana Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal Tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuannya. Adanya surga neraka serta malaikat-setan merupakan motivasi agar mereka mau menyembah Tuhan. Seandainya surga dan neraka tidak ada bagaimana??. Sebenarnya kalo buat saya pribadi walaupun tidak ada surga dan neraka sebenarnya tujuan kita yang paling utama adalah untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya karena dengan kedekatan itu tiada nikmat yang lain selainnya bersama keagunganya atau kita bermujahadah langsung. Menurut Sayyidina Ali manusia yang menyembah Tuhan karena surga-neraka adalah manusia yang berjiwa budak dan berjiwa pedagang, yakni hanya mau menyembah Tuhan jika diancam dengan neraka dan di janjikan hadiah surga. Manusia yang beginilah yang tidak pernah akan maju spiritualisnya. Cobalah belajar menjalankan makna kitab suci kita bukan menjalankan artinya sekali lagi makna dari Al - Qur’An.
Padahal kalo kita mau belajar tentang makna Al - Qur’An luar biasa sekali untuk diresapi. Inilah yang di lakukan para generasi muslim sesudah Kanjeng Nabi khususnya para tokoh sufi. Persis sindiran tokoh sufi jawa Sunan Kajenar mengatakan : Sebagian kaum santri yang terkutuk dan mabok tobat, mereka beribadah bukan dengan niat yang tulus murni tetapi karena mengaharapkan sesuatu selain Tuhan.
Namun setidaknya manusia yang sudah terbuka fikr-nya seperti ini lebih baik daripada mereka yang masih terkungkung oleh nafsu duniawi. Ini adalah jalan untuk mengenal Tuhan lebih lanjut. Manusia yang telah memahami, menghayati, dan merasakan kehadiran alam surga, neraka, malaikat, setan, serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya berarti ia telah memasuki pengenalan terhadap alam misal sebagai bekal untuk mengenal Tuhan lebih lanjut.
3. Selanjutnya manusia diharapkan mengenal rohnya. Inilah nyawa yang membuat jasmani dan jiwa manusia menjadi hidup. Jasmani tidak akan bergerak jika tidak mendapat perintah dari jiwa, dan jiwa tidak dapat memberi perintah pada gerakan jasmani jika tidak terdapat roh didalamnya. Inilah yang bisa dipahami kebanyakan orang sebagai hidup. Selama roh masih melekat dalam badan jasmani seseorang maka orang tersebut di katakan hidup. Ketika sedang tidur manusia bergerak dan tidak merasakan sesuatu karena jiwanya keluar dari jasadnya. Namun ia tetap dikatakan hidup karena rohnya masih berada dalam jasad. Ketika bangun, jiwa kembali menyatu dalam badan hingga hidupnya di dunia menjadi sempurna. Ketika roh terlepas dari badan, otomatis jasmani tersebut tidak bisa dipakai lagi.
Jiwa tidak lagi mampu menggunakanya, sehingga ia disebut mati. Roh ini disebut dengan nyawa. Dalam Al - Qur’an, Tuhan meniupkan roh manusia ini yang berasal Roh Agung kepunyaannya. Ki Ageng Pengging mengatakan nyawa manusia berada dalam tirta nirmala atau air kehidupan atau maa’ul hayat. Ia berada dalam uni nong ana nung atau Dzat Tuhan. Jika kalau manusia sudah bisa mengerti tentang ilmu kasempurnaan tentang ini, maka ia bisa mencabut nyawanya sendiri seperti Sunan Kajenar, Sunan Kalijaga dan sebagainya. Karena beliau sudah melebur dirinya dengan Dzat Tuhan. Bagi para tokoh sufi yang sudah bisa menyatukan diri dengan Dzat Tuhan dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Baginya kodrat atau kekuasaan dan iradat atau kehendak Tuhan sebagai ilmu sejati. Semua sifat Tuhan yang dua puluh jumlahnya, jika di gulung menjadi satu dan melekat dalam budi, maka budi menjadi lestari, kekal selamanya.
Ini berarti, wujud mutlak itu akan menjadi Dzat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal, tiada bertujuan. Sunan Kajenar telah bersemayam dalam kodrat atau kekuasaan Tuhan hingga ia berkuasa untuk mengambil nyawanya sendiri, serta bersemayam dalam iradat atau kehendak Tuhan hingga kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Kapan saja ia mau, ia bisa melakukannya. Dengan mudah Sunan Kajenar dapat menutup sumber air kehidupannya, atas kuasa dan kehendak Dzat Tuhan dalam dirinya, sehingga ia pun mengambil nyawanya sendiri.
Roh atau nyawa manusia berasal dari Tuhan secara langsung. Adapun jasmani ia adalah gambaran maya saja, Dzat yang tidak lebih hanya sekedar simbol. Jasmani ini akan menjadi penghalang bagi manusia yang tidak mampu menangkap rahasia diciptakanya jasmani tersebut. Namun bagi orang yang sudah tersingkap pandangan batinnya. Ia akan melihat Dzat Tuhan dalam Dzatnya. Bagi Sunan Kajenar jasad manusia adalah rupa Tuhan dan menurut Wali Songo kepala manusia adalah singgasana kemakmuran Tuhan, dada manusia adalah singgasana kemuliaan Tuhan, dan kemaluan manusia adalah singgasana kesucian Tuhan. Keduanya tak jauh berbeda, jasad manusia adalah gambaran dari rupa Tuhan!!. Seperti yang tertulis didalam kitab ihya ulumudin ‘’wa Allahu dzahir al-insan, wabatinul insani baytullahu’’ artinya : lahiiriah manusia itu wajah Tuhan dan batiniah manusia itu rumah Tuhan. Melalui pandangan ini, mengenal Tuhan pun bisa dilakukan jasmani dengan menganggapnya sebagai gambaran dari wajah Tuhan. Adapun Dzat sesungguhnya adalah dalam rahsa. Demikian pula dengan jiwa, ia adalah gambaran dari perbuatan, nama dan sifat Tuhan. Sehingga mengenal Tuhan juga bisa di lakukan melalui gambaran jiwa diri dan orang lain. Yaitu melihat perbuatan, nama, dan sifat Tuhan.
Menurut Sunan Kajenar alam semesta ini tidak diciptakan tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak menciptakan barang baru. Dia maha tunggal sehingga apa saja yang dia ciptakan pada dasarnya adalah dia juga, karena bahannya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan alam semesta ini, sebagai gambaran penampakannya. Alam ajsam atau alam jasmani ini adalah gambaran wajah Tuhan dan alam misal atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama, dan sifatnya. Semua itu pada dasarnya Tuhan juga.
4. Roh manusia satu dan roh manusia lainnya pada dasarnya satu kesatuan, karena berasal dari sumber yang satu. Sumber Roh tersebut adalah Roh Agung atau Nur Muhammad dalam perspektif kemakhlukan ini di sebut martabat wahidiyat. Manusia yang mengira bahwa hidupnya bergantung pada Roh bagian yang berasal dari Roh Agung akan berpendapat bahwa hidupnya di dunia sebagai kehidupan yang sejati. Padahal, Roh yang ia peroleh hanyalah sekedar tiupan kecil dari Roh Agung tersebut. Berbeda dengan Sunan Kajenar, ia menganggap hidup di dunia ini sebagai kematian karena terlempar dari Roh Agung kepada Roh kecil di dunia. Maka ia begitu rindu untuk secepatnya kembali pada Rohnya yang utuh.
5. Roh Agung pada martabat Wahdah ini bukan lagi sebagai makhluk, namun lebih dekat pada sifat ketuhanan. Dia adalah satu, namun masih masih bukan Tuhan yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, Roh bukan lagi makhluk dan tidak berkaitan dengan makhluk.
6. Akhirnya semua sifat Tuhan dalam Martabat Wahdah, termasuk sifat Hayyun atau Maha Hidup, yaitu ketika Roh Agung termasuk didalamnya, digulung menjadi satu. Jadilah Dzat Tuhan atau uni nong ana ning atau Aku. (jalantrabas.blogspot.com)
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Mencapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa. Jika menurut Anda Mencapai Hidup Sejati Menurut Tasawuf Jawa bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus