Indonesia ternyata adalah merupakan benua Atlantis yang hilang sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Plato dalam bukunya Timaeus dan Critias. Fakta mengejutkan ini diungkapkan oleh Prof. Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya "Atlantis, The Lost Continent Finally Found".
Prakata
Atlantis, Atalantis, atau Atlantika (bahasa Yunani: Ἀτλαντὶς νῆσος, "pulau Atlas") adalah merupakan sebuah pulau atau bahkan sebuah benua legendaris yang pertama kali disebutkan oleh Plato dalam bukunya Timaeus dan Critias.
Dalam catatannya tersebut, Plato menuliskan bahwa Atlantis ini terhampar "di seberang pilar-pilar Herkules", dan memiliki angkatan laut yang telah menaklukkan Eropa Barat dan Afrika 9.000 tahun sebelum waktu Solon, atau sekitar tahun 9500 SM. Setelah gagal menyerang Yunani, Atlantis kemudian tenggelam ke dalam samudra "hanya dalam waktu satu hari satu malam".
Telah diklaim bahwa sebelum era Eratosthenes tahun 250 SM, penulis Yunani menyatakan bahwa lokasi "pilar-pilar Herkules" berada di Selat Sisilia, namun tidak terdapat bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan hal tersebut.
Atlantis umumnya dianggap hanya sebagai mitos yang dibuat oleh Plato untuk mengilustrasikan teori politiknya. Meskipun fungsi cerita Atlantis terlihat jelas oleh kebanyakan ahli, mereka memperdebatkan apakah dan seberapa banyak catatan Plato diilhami oleh tradisi yang lebih tua. Beberapa ahli mengatakan bahwa Plato menggambarkan kejadian yang telah berlalu, seperti letusan Thera atau perang Troya, sementara lainnya menyatakan bahwa ia terinspirasi dari peristiwa kontemporer seperti hancurnya Helike tahun 373 SM atau gagalnya invasi Athena ke Sisilia tahun 415-413 SM.
Masyarakat sering membicarakan keberadaan Atlantis selama Era Klasik, namun umumnya tidak mempercayainya dan kadang-kadang menjadikannya sebagai bahan lelucon. Kisah Atlantis kurang dikenal pada Abad Pertengahan, namun pada era modern cerita mengenai Atlantis ditemukan kembali. Deskripsi Plato menginspirasikan karya-karya penulis zaman Renaissance, seperti "New Atlantis" karya Francis Bacon. Atlantis juga mempengaruhi literatur modern, dari fiksi ilmiah hingga buku komik dan film. Namanya telah menjadi pameo untuk semua peradaban prasejarah yang telah maju (dan kemudian menghilang).
Pada buku Timaeus, Plato berkisah:
"Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam".
Menurut Critias, dewa Helenik membagi wilayah untuk setiap dewa; Poseidon mewarisi wilayah pulau Atlantis. Pulau ini lebih besar daripada Libya kuno dan Asia Kecil yang disatukan, tetapi akan tenggelam karena gempa bumi dan menjadi sejumlah lumpur yang tak dapat dilewati, menghalangi perjalanan menyeberang samudra. Bangsa Mesir pernah mendeskripsikan Atlantis ini sebagai pulau yang terletak kira-kira 700 kilometer, kebanyakan terdiri dari pegunungan di wilayah Utara dan sepanjang pantai, dan melingkupi padang rumput berbentuk bujur di Selatan "terbentang dalam satu arah tiga ribu stadia (sekitar 600 km), tetapi di tengah sekitar dua ribu stadia (400 km).
Selain Timaeus dan Critias, tidak terdapat catatan kuno mengenai Atlantis, yang berarti setiap catatan mengenai Atlantis lainnya berdasarkan dari catatan Plato.
Sejarawan dan filsuf kuno lainnya yang memercayai keberadaan Atlantis adalah Strabo dan Posidonius. Zoticus, seorang filsuf Neoplatonis pada abad ke-3, menulis puisi berdasarkan catatan Plato mengenai Atlantis. Novel Francis Bacon tahun 1627, The New Atlantis (Atlantis Baru), mendeskripsikan komunitas utopia yang disebut Bensalem, terletak di pantai barat Amerika. Karakter dalam novel ini memberikan sejarah Atlantis yang mirip dengan catatan Plato. Tidak jelas apakah Bacon menyebut Amerika Utara atau Amerika Selatan. Novel Isaac Newton tahun 1728, The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended (Kronologi Kerajaan Kuno Berkembang), mempelajari berbagai hubungan mitologi dengan Atlantis.
Pada pertengahan dan akhir abad ke-19, beberapa sarjana Mesoamerika, dimulai dari Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, dan termasuk Edward Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon, menyatakan bahwa Atlantis berhubungan dengan peradaban Maya dan Aztek.
Pada tahun 1882, Ignatius L. Donnelly mempublikasikan Atlantis: the Antediluvian World. Karyanya menarik minat banyak orang terhadap Atlantis. Donnelly mengambil catatan Plato mengenai Atlantis dengan serius dan menyatakan bahwa semua peradaban kuno yang diketahui berasal dari tingginya kebudayaan Neolitik.
Konsep Profesor Arysio Nunes dos Santos
Adalah Profesor Arysio Santos yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan penelitian selama 30 tahun terakhir, dirinya meyakini benua Atlantis yang hilang tersebut adalah Indonesia. “Profesor Santos memperoleh keyakinan setelah melakukan penelitian kalau Indonesia adalah Atlantis yang hilang,” jelas Jimly Asshiddiqie (Dikutip Koran Sindo).
Menurut Jimly, karya Santos yang kemudian dibukukan dengan judul "Atlantis, The Lost Continent Finally Found" didukung dengan sejumlah fakta yang memang mendekatkan Indonesia dengan Atlantis. Bahkan, kata Jimly, pernyataan arkeolog, manusia tertua adalah Pithecanthropus Erectus semakin mengindikasikan hal tersebut.
“Ada info dari arkeolog, manusia tertua yakni Pithecanthropus Erectus ya manusia Jawa. Jadi sangat mungkin peradaban hebat itu sebenarnya dari Indonesia,” terang mantan anggota Wantimpres ini. Jimly menambahkan, kalau memang memungkinkan, sebuah peradaban yang besar kemudian menghilang. Meski sempat hilang dari sejarah bangsa Indonesia dan umat dunia, Jimly menyarankan agar penelitian Santos ini dapat memotivasi bangsa Indonesia agar bangkit dari situasi sekarang ini.
“Paling penting adalah bahwa kita pernah hebat, ini (buku karya Santos) sebagai sumber motivasi ke depan agar bisa maju,” tandas Jimly.
Sementara itu, Direktur LIPI Profesor Dr Umar Anggara mengatakan agar temuan Santos ini dijadikan motivasi para ilmuwan Indonesia untuk membuktikan kebenarannya secara akademis.
“Saya harap buku ini bisa menginspirasi bagi para ilmuwan untuk mencari kebenaran secara akademik. Karena menyinggung Indonesia dan sudah sepatutnya kita yang mencari tahu,” imbuh Umar.
Kehancuran Atlantis
Benua Atlantis hilang di karenakan tenggelam oleh lautan dan bencana gempa bumi, hingga mengakibatkan daratan Atlantis tenggelam hingga mencapai dasar laut. Terlihat jelas bahwa ada bangunan-bangunan tua yang sudah ada sejak berabad-abad di dasar laut di Selat Sunda.
Keberadaan Kota Atlantis yang diperkirakan tenggelam 11.600 tahun lalu masih menjadi misteri. Namun, ada satu dokumen yang menyebut Indonesia merupakan wilayah Atlantis yang sebenarnya. Benarkah?.
Santos meyakini benua menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi bersamaan pada akhir zaman es sekitar 11.600 tahun lalu. Di antara gunung besar yang meletus zaman itu adalah Gunung Krakatau Purba (induk Gunung Krakatau yang meletus pada 1883) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan gunung berapi yang terjadi bersamaan ini menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar.
Saat gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda. Peristiwa itu juga mengakibatkan tenggelamnya sebagian permukaan bumi yang kemudian disebut Atlantis. Bencana mahadahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa serta mempraktekkan peradaban mereka di wilayah baru.
“Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti ‘hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores musnah dalam waktu yang hampir sama,” tulis Santos. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, beberapa wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara diyakini masih menyatu dengan semenanjung Malaysia serta Benua Asia.
Menurut Santos, pulau-pulau di Indonesia yang mencapai ribuan itu merupakan puncak-puncak gunung dan dataran-dataran tinggi benua Atlantis yang dulu tenggelam. Satu hal yang ditekankan Santos adalah banyak peneliti selama ini terkecoh dengan nama Atlantis. Mereka melihat kedekatan nama Atlantis dengan Samudera Atlantik yang terletak di antara Eropa, Amerika dan Afrika. Padahal pada masa kuno hingga era Christoper Columbus atau sebelum ditemukannya Benua Amerika, Samudera Atlantik yang dimaksud adalah terusan Samudra Pasifik dan Hindia.
Sekali lagi Indonesia memiliki syarat untuk itu karena Indonesia berada di antara dua samudera tersebut. Jika terdapat begitu banyak kemungkinan Indonesia menjadi lokasi sesungguhnya Atlantis lalu, mengapa selama ini nama Indonesia jarang disebut-sebut dalam referensi Atlantis ?.
Santos menilai keengganan Dunia Barat melakukan ekspedisi ataupun mengakui Indonesia sebagai wilayah Atlantis adalah karena hal itu akan mengubah catatan sejarah tentang siapa penemu peradaban. Dengan adanya sejumlah bukti mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia maka teori yang mengatakan dunia Barat sebagai penemu dan pusat peradaban dunia akan hancur total.
“Kenyataan Atlantis (berada di Indonesia) kemungkinan besar akan mengakibatkan perlunya revisi besar-besaran dalam ilmu humaniora, seperti antropologi, sejarah, linguistik, arkelogi, teori evolusi, paleantropologi dan bahkan mungkin agama,” tulis Santos dalam bukunya.
Selain Santos, banyak arkeolog Amerika Serikat yang juga meyakini Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land yang luasnya dua kali negara India. Daratan itu kini tinggal Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Salah satu pulau di Indonesia yang kemungkinan bisa menjadi contoh terbaik dari keberadaan sisa-sisa Atlantis adalah Pulau Natuna, Riau.
Berdasarkan penelitian, gen yang dimiliki penduduk asli Natuna mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Rumpun bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa Asia merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah keberadaan manusia.
Rumpun ini kini tersebar dari Madagaskar di bagian Barat hingga Pulau Paskah di di bagian Timur. Rumpun bangsa ini juga melahirkan 1.200 bahasa yang kini tersebar di berbagai belahan bumi dan dipakai lebih dari 300 juta orang.
Yang menarik adalah, sekitar 80 persen dari rumpun penutur bahasa Austronesia tinggal di Kepulauan Nusantara Indonesia. Namun, pendapat Santos dan kawan-kawan yang meyakini bahwa Atlantis berada di Indonesia ini masih harus dikaji karena kurang dilengkapi bukti-bukti arkeologis.
Pakar Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Wahyu Hantoro mengatakan analisa Santos masih berupa sebuah hipotesa.
"Perlu dijelaskan lebih lanjut kategorisasi jenis kebudayaan tinggi yang ada pada zaman Atlantis serta gelombang setinggi apa yang bisa membuat Paparan Sunda terbelah," jelas Wahyu.
Kajian ringkas ini ingin membicarakan tentang peninggalan-peninggalan tertua yang terdapat di kepulauan Nusantara. Tentu saja kronologi yang berkaitan dengan peninggalan tertua tersebut adalah zaman prasejarah, bukan dari zaman Hindu-Buddha yang sudah berada dalam babakan sejarah.
Pengertian peninggalan yang dimaksudkan dalam telaah ini adalah benda-benda dari masa lalu yang bersifat monumental dan besar (megalitihic), bukan artefak batu (lithic) yang dapat dibawa dengan mudah (moveable artifact) seperti kampak batu atau peralatan batu lainnya yang digolongkan ke dalam jenis palaeolithic atau pun Neolithic.
Dataran tinggi agaknya wilayah yang telah lama menjadi perhatian nenek moyang bangsa Indonesia, karena di banyak tempat di wilayah dataran tinggi selalu didapatkan peninggalan purbakala yang mengindikasikan pernah adanya ritual keagamaan di masa silam. Beberapa contoh dataran tinggi yang mempunyai banyak kepurbakalaan dari kebudayaan masa silam Indonesia yang dihubungkan dengan aktivitas religi, antara lain adalah:
(a) Bada, di wilayah Sulawesi Tengah, situs tersebut memiliki arca-arca batu monolitik berukuran besar, selain benda-benda batu lainnya seperti menhir dan kalamba,
(b) Dataran tinggi Parahyangan di Jawa Barat juga mempunyai banyak peninggalan kuno misal bangunan punden-punden berundak,
(c) Dieng, merupakan dataran tinggi yang mempunyai peninggalan bangunan candi-candi Hindu dengan arsitektur tergolong tua di Jawa, dan
(d) Dataran tinggi Basemah (Pasemah) di Sumatera Selatan yang juga dipenuhi oleh berbagai peninggalan kuno yang sangat mungkin berhubungan dengan kegiatan keagamaan.
Dalam hal kepurbakalaan di dataran tinggi Dieng, dalam kajian ini tidak akan diperbincangkan lebih lanjut, karena termasuk peninggalan dalam zaman Hindu-Buddha, namun perlu disebutkan bahwa penghormatan kepada dataran tinggi ternyata terus berlanjut dalam era sejarah seperti di Dieng (abad ke-8-11 M), Gedong Songo (abad ke-8 M), dan Gunung Penanggungan (abad ke-14-15 M). Penghormatan seperti itu terus juga terjadi hingga masa perkembangan Islam di Tanah Jawa, namun hal dapat menjadi bahan kajian tersendiri.
Sejalan dengan hal itu maka dalam telaah ini dikemukakan 3 situs penting di Indonesia yang terletak di dataran tinggi, namun aspek-aspeknya belum banyak diungkapkan oleh para ahli arkeologi.
Ketiga situs itu adalah:
- Situs megalitik Pasemah, sebagian besar situs terletak di wilayah Pagar Alam di Sumatera selatan.
- Situs megalitik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
- Situs Goa Made di wilayah Jombang bagian utara yang baru saja ditemukan dan dikaji dalam tahun-tahun terakhir ini.
Kronologi ketiga situs tersebut masih belum dapat dipastikan secara tepat, karena banyak temuan serta yang dapat membantu menentukan penanggalan relatifnya. Berdasarkan temuan yang ada pada situs-situs tersebut mempunyai kronologi panjang, sejak zaman bercocok tanam-perundagian hingga zaman sejarah. Di Goa Made contohnya, kronologi termuda menembus hingga masa Kerajaan Majapahit dalam abad ke-14-15 M.
Agar pembicaraan dapat terarah dan sistematis, selanjutkan diuraikan secara garis besar, gambaran 3 situs penting di Indonesia itu sebagai berikut:
a. Situs Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
Seorang pendeta Belanda dalam tahun 1898 melaporkan bahwa di daerah Sulawesi Tengah dekat dengan Danau Poso terdapat arca-arca batu berukuran besar dan kecil. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan datangnya peneliti Belanda lainnya bernama A. C. Kruyt dalam tahun 1908. Ia mendapatkan arca-arca megalitik di lembah yang luas, lembah itu dinamakan Bada, di jantung Pulau Sulawesi.
Temuan menarik adalah adanya arca-arca dalam bentuk tonggak batu yang menancap ke dalam tanah dengan tingginya sekitar 4 m. Arca itu digambarkan memiliki alat genital laki- laki, penduduk setempat menamakannya dengan Paliodo. Selain arca Paliodo di dae-ah yang sama juga dilaporkan arca lain yang dinamakan dengan Loga, arca berdiri menancap di tanah, namun tidak digambarkan jenis kelaminnya. Ditemukan juga arca-arca yang berukuran lebih kecil sekitar 1, 50-1, 60 m, lumpang batu, batu berlubang, batu dakon, dan monolit lainnya (Mulia 1980: 623). Para ahli Belanda kemudian menyatakan bahwa arca-arca Lembah Bada berasal dari masa prasejarah, namun belum ada penelitian yang lebih mendalam dan mengungkapkan perihal kehadirannya di daerah pegunungan di pedalaman Sulawesi Tengah.
Di daerah Bada dan sekitarnya juga dijumpai bejana batu, ada yang dinding luarnya polos tanpa hiasan, namun ada pula yang dihias dengan relief rendah menggambarkan wajah manusia (topeng). Penduduk setempat menamakan bejana batu itu dengan kalamba dan mempunyai tutup batu pula, tetapi banyak tutup kalamba yang telah pecah. Ditafsirkan bahwa kalamba dahulu berfungsi untuk meletakkan jenazah, jadi sebagai kubur. Bejana batu sebagai kubur ternyata dijumpai pula di daratan Asia Tenggara, terutama di lembah Sungai Mekhong (Laos) (Prasetyo 2004: 128). Berdasarkan berbagai peninggalan arkeologi yang bersifat monumental tersebut dapat dikemukakan bahwa masyarakat pendukung peradaban di Lembah Bada pada masa silam relatif telah cukup maju, dan sengaja memilih dataran tinggi yang berupa lembah di antara rangkaian pegunungan yang mengitarinya.
b. Situs Pasemah. pagar Alam. Sumatera Selatan
Di wilayah Pagar Alam, di lereng Gunung Dempo (3159 m), Sumatra Selatan, terdapat situs megalitik yang sangat luas, dalam kajian arkeologi Indonesia dikenal dengan nama situs megalitik Pasemah. Peneliti pertama yang membahas peninggalan arkeologi Pasemah, ialah L. Ullmann, telaahnya dimuat dalam karyanya berjudul “Hindoe-belden in de binnenlanden van Palembang” (1850), ia menyatakan bahwa arca-arca besar dari batu tunggal yang ditemukan tersebar di dataran tinggi Pagar Alam merupakan arca-arca dewa Hindu. Pernyataan itu diperkuat oleh E. P. Tombrink dalam karyanya yang berjudul ‘Hindoe-monumenten in Bovenlanden van Palembang” (1872).
Dalam karyanya Tombrink menyimpulkan bahwa kepurbakalaan yang terdapat di pedalaman Palembang, atau di Tanah Basemah dibangun oleh orang-orang dari masa silam yang mendukung kebudayaan Hindu. Begitupun L. C, Westenenk dalam makalahnya yang berjudul “De Hindoe-Javanen in Midden- en Zuid Sumatra” (1921) dan”De Hindoe-Oudheden in de Pasemah-Hoogvlakte (Residentie Palembang)” (1922), menyatakan bahwa peninggalan kepurbakalaan di Pasemah tersebut berasal dari aktivitas orang yang beragama Hindu yang berasal dari luar Sumatera.
Peneliti yang secara luas mempelajari situs Pasemah ialah A. N. J. Th. a. Th. van Der Hoop dalam bukunya Megalithic Remains in South Sumatra (1932). Ia menyimpulkan bahwa arca-arca di situs Pasemah dibuat oleh masyarakat megalitik. Hasil kajian Van Der Hoop mencatat adanya bermacam peninggalan kebudayaan megalitik di dataran tinggi Pasemah, sebagai berikut:
- Arca-arca yang diletakkan di berbagai lokasi, dengan orientasi berbeda menghadap ke berbagai arah.
- Lesung batu, menurut Van der Hoop benda ini dapat dijadikan penanda adanya garis poros, namun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan garis poros tersebut.
- Palung batu, bentuknya seperti sarkopagus dalam ukuran kecil, mungkin sebagai tempat untuk meletakkan tulang belulang si mati dalam proses penguburan kedua (secondary burial).
- Batu-batu tegak (menhir) yang berdiri terpisah-pisah
- Tetralith: kelompok 4 batu dengan denah empat persegi panjang, orientasinya timur- barat, terletak antara lain di Gunungmegang. Kelompok tetralith tersebut ada yang ditata dengan teratur, tetapi ada juga yang diletakkan “asal-asalan”.
- Jalan dengan hamparan batu (stone avenue), terletak di Talang Padang dengan orientasi utara selatan.
- Dolmen ditemukan di banyak lokasi, tidak memperlihatkan adanya pola atau garis poros yang dapat dihubungkan dengan keletakkan tersebut.
- Kubur batu (stonecist),hampir semua kubur batu mempunyai orientasi timur-barat, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tradisi penguburan yang dikenal dalam kebudayaan Pasemah kuno adalah dengan arah demikian.
- Batu-batu berlubang atau disebut juga batu dakort ditemukan di beberapa tempat ada yang mempunyai banyak sekali lubang di permukaannya, ada pula yang hanya sedikit lubang.
- Kuburan bertingkat (terrace graves), dalam sumber tradisi dianggap sebagai kuburan si Pahit Lidah terdapat di daerah Mingkik.
Punden berundak tersebut mempunyai orientasi barat laut-tenggara, jika dibandingkan dengan punden bertingkat di Lebak Sibedug Banten, maka orientasinya berbeda, karena punden berundak Lebak Sibedug mempunyai orientasi timur-barat. Demikianlah dalam hal orientasi mata angin, maka megalitik di Pasemah mempunyai dua macam orientasi yang selalu dikenal, yaitu timur- barat dan barat laut-tenggara (van Der Hoop 1932: 151-153).
Van Der Hoop menyatakan bahwa para pendukung kebudayaan megalitik di Pasemah bukan orang-orang Negrito, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh L. C. Westenenk (1921 & 1922), melainkan orang-orang setempat sendiri, merekalah nenek moyang etnik Melayu yang berkembang di masa kemudian. Masa itu di wilayah Pasemah berkembang kebudayaan megalitik bersamaan dengan teknik pembuatan benda-benda perunggu, hal itulah yang terlihat dari temuan kekunaan yang ada di wilayah tersebut (1932: 156— 157). Pernyataan yang menarik dari Van Der Hoop adalah gambaran nekara yang dipahatkan di punggung tokoh pria yang menaiki gajah (Batu Gajah) haruslah dijadikan “leitfossil” (fosil pemandu) yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan megalitik Pasemah (1932: 158).
Nekara perunggu ternyata dijumpai di beberapa lokasi lain di Indonesia, antara lain di Sumatra, Jawa, dan Bali. Oleh karena itu sepantasnya kemahiran membuat benda-benda perunggu telah tersebar merata di kalangan penduduk Nusantara sebelum datangnya pengaruh India.
c. Topeng-topeng perunggu dari Situs Goa Made, Jombang, Jawa Timur
Penelitian arkeologi di Goa Made mulai dilakukan oleh para arkeolog Indonesia dibantu Anacleto Spazzapan ahli geometri Italia dalam tahun 2006. Sebenarnya sebelum penggalian arkeologi tahun 2006 telah banyak ditemukan topeng perunggu oleh penduduk setempat. Topeng-topeng tersebut bentuknya bermacam-macam, namun sebagaimana topeng, maka yang digambarkan hanyalah bagian penutup wajah saja. Ada juga yang wujudnya patung dada jadi digambarkan kepala hingga dadanya (patung torso), dan terdapat pula topeng yang menggambarkan kepala hingga leher.
Ukurannya bervariasi pada setiap topeng, untuk jelasnya perhatikan beberapa contoh topeng pada foto-foto berikut:
Artefak perunggu dari Goa Made jumlahnya lebih dari 100 macam benda, umumnya berupa topeng, namun ada juga artefak lainnya seperti:
- hewan gajah,
- babi hutan yang ditunggangi manusia,
- tabung silindris dengan puncak kepala manusia ganda (menghadap ke depan-belakang),
- kelompok wadah seperti: bejana upacara, kendil, kendil bercucuk, dan lainnya
- figur perempuan yang sedang menyusui anaknya,
- gajah sedang mengamuk, belalainya membelit dan menginjak orang-orang, di punggungnya digambarkan ada pengendaranya yang sedang meniup terompet
- Kereta dikendarai beberapa orang yang sedang ditarik gajah, dan sebagainya
Dengan beranekanya temuan benda perunggu yang terdapat di situs Goa Made dan sekitarnya, menunjukkan bahwa areal situs tersebut di masa silam mempunyai peranan penting dalam aktivitas manusia. Pembicaraan selanjutnya adalah perihal topeng perunggu saja, karena topeng seperti itu tidak pernah dikenal dalam khasanah arkeologi Indonesia, sedangkan mengenai benda-benda lainnya akan dijelaskan dalam kajian selanjutnya.
Apabila diperhatikan secara sepintas, maka raut wajah yang digambarkan oleh topeng- topeng tersebut banyak yang bukan memperlihatkan wajah orang Jawa atau orang Indonesia pada umumnya. Wajah-wajah topeng umumnya digambarkan dengan: (a) mata yang salah satu sudutnya (sudut luar) lebih naik dari sudut lainnya yang dekat dengan pangkal hidung, (b) beberapa topeng jelas digambarkan dengan mata yang sempit, (c) alis di atas mata juga digambarkan melengkung naik mengikuti mata yang digambarkan miring, hal itu mirip dengan raut wajah orang-orang Asiatic Mongoloid.
Oleh beberapa arkeolog Indonesia situs Goa Made dihubungkan dengan periode Majapahit, alasan mereka adalah terdapatnya artefak perunggu dan batu yang dapat diidentifikasikan dari era Majapahit. Artefak-artefak khas Majapahit itu justru ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 2006 yang lalu. Penggalian itu dilakukan atas kerja sama antara arkeolog Indonesia dan ahli dari Italia, hasil penggalian menghasilkan bermacam temuan antara lain topeng perunggu, fragmen benda-benda perunggu, dan juga pecahan clupak batu (lampu minyak).
Selain itu dari temuan lepas yang berasal dari sekitar situs Goa Made pun mengindikasikan bahwa banyak artefak perunggu justru berasal dari zaman Majapahit, seperti patung gajah, perempuan menyusui, perempuan dan anak-anaknya dalam perahu yang dihias bentuk kepala berang-berang, kereta yang ditarik gajah, dan sebagainya, jelas menunjukkan dari zaman Majapahit. Hal yang menarik adalah ditemukan arca bhiksu- bhiksu dan dewa-dewa Buddha yang khas bergaya Cina, dan itu pun dapat dipastikan berasal dari sekitar abad ke-13-14, artinya sezaman dengan perkembangan Majapahit.
Perkara yang justru penting dan harus dijelaskan adalah banyaknya temuan artefak yang berwujud topeng dengan wajah yang umumnya berbeda dengan wajah-wajah orang Melayu (Malayan-Mongoloid). Penggambaran wajah-wajah yang tidak bercirikan wajah Melayu terdapat juga pada beberapa artefak batu dan nekara perunggu dari masa prasejarah dalam zaman megalitik Indonesia, artinya jauh dari masa perkembangan Majapahit.
Pada gambar di atas dapat disimak secara baik adanya kemiripan yang sangat kentara antara raut wajah salah satu topeng dari Goa Made dengan hiasa wajah “topeng” yang dipahatkan pada sisi luar salah satu bejana batu (kalamba) yang terdapat di Sulawesi Tengah. Alis mata dan mencuat tinggi menjauhi pangkal hidung jelas menunjukkan bahwa wajah demikian bukan milik orang-orang Indonesia seperti yang disaksikan pada masa sekarang. Mungkin saja wajah demikian adalah raut muka milik orang setempat pembuat artefak-artefak yang kemudian menjadi nenek moyang bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Ras manusia Malayan-Mongoloid sebenarnya adalah hasil perpaduan antara orang-orang Mongoloid yang melakukan migrasi dari Asia daratan dan mereka bertemu dengan orang Austramelanesid.
Dengan demikian penduduk kepulauan Indonesia, semenanjung Malaysia, Brunei, Filipina, Khmer, dan Myanmar dewasa ini adalah keturunan manusia hasil perkawinan antara ras Mongoloid dan Austramelanesid
Pada gambar di atas terlihat adanya bentuk lain dari wajah topeng-topeng Goa Made, torso perunggu tersebut wajahnya dilengkapi alis yang melengkung di atas matanya, namun mata digambarkan masih “sipit”, tidak bulat melebar. Hal yang menarik adalah penggambaran dagu yang kuat tajam pada bagian bawah wajah. Wajah patung batu (tinggi sekitar 3 m) dari Lembah Bada, Sulawesi Tengah, alis mata digambarkan masih mencuat naik ke arah dahinya, namun matanya telah digambarkan bulat melebar, bukan mata yang sipit lagi. Dagunya pun digambarkan kuat dan tajam seperti halnya dagu pada arca torso perunggu.
Wajah-wajah seperti itu terlihat adanya ciri-ciri Austramelanesid bersama dengan Mongoloidnya. Agaknya patung-patung dengan wajah demikian merupakan kelompok penduduk prasejarah tertentu yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Kemudian terdapat pula kelompok topeng jenis ketiga dengan ciri tertentu pula. Ciri itu antara lain dengan (a) penggambaran wajah yang agak membulat, (b) mata besar tidak menyempit, (c) hidung besar melebar, dan (d) bibir tebal, ciri demikian sangat dengan penggambaran arca-arca “nenek moyang” yang terdapat di dataran tinggi Pasemah yang akan dibicarakan lebih lanjut.
Hingga sekarang belum dapat dilakukan perbandingan terhadap seluruh temuan topeng dari Goa Made dengan artefak-artefak lain yang juga “mengandung” gambar topeng. Melalui beberapa topeng yang telah dibicarakan dapat diketahui adanya padanan antara wajah beberapa topeng Goa Made dengan wajah yang terdapat di artefak lainnya. Berdasarkan tinjauan tersebut dapat diketahui bahwa seluruh artefak pembanding kronologinya berasal dari era prasejarah Indonesia, karena semua artefak pembanding ditemukan di wilayah Indonesia.
Beberapa topeng torso lainnya yang digambarkan memakai topi, antara lain topi seperti helm yang mencuat ke atas dan dilengkapi dengan seutas tali atau kabel dari bagian dahi kemudian naik ke puncak kepala dan menjuntai di bagian tengah-belakang kepala, ada juga topeng torso yang bagian puncak kepalanya lancip meninggi, dan topeng yang pada bagian tengah dahinya mempunyai semacam tanduk kecil (contoh: topeng di foto 3), belum dapat dijelaskan dalam kajian ini. Jadi masih banyak peluang untuk melakukan penelitian di masa mendatang.
Di wilayah Utara Jombang yaitu di kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan, jadi tidak terlalu jauh dengan situs Goa Made, pernah dilaporkan adanya penemuan nekara. Di Tuban nekara ditemukan di Weleran, daerah perbukitan kapur. Ketika ditemukan nekara tersebut dalam posisi terbalik, bidang pukulnya terdapat di bawah, tinggi nekara 74 cm, adapun garis tengah bidang pukulnya 93 cm. Di dalam nekara terdapat arca gajah perunggu, dan 8 artefak lain, yaitu senjata tajam dari besi dan pecahan tanah liat. Arca gajah perunggu digambarkan sedang berdiri dengan belalainya diangkat ke atas, ekornya melengkung hingga punggung, sehingga bagian ekor itu dapat difungsikan sebagai pegangan untuk mengangkat arca tersebut. Tinggi arca gajah 32 cm, panjang 36 cm (Prasetyo 2004: 152).
Dalam pada itu dari daerah Kradenrejo, Lamongan, ditemukan juga 2 nekara perunggu yang bagian kakinya bertemu, jadi bentuk kedua nekara itu seperti kendang berpinggang, karena kedua bidang pukul berada di kedua sisinya. Hal yang menarik ukuran kedua nekara tersebut relatif sama, yaitu tinggi 42 cm dan garis tengah bidang pukulnya 27 cm. Di dalam kedua nekara yang dipertemukan tersebut terdapat manik-manik dari batu kalsedon, kalung dan tusuk konde emas, alat-alat perunggu dan besi, alat kayu, batu- batuan, tulang hewan, dan rangka anak-anak (Prasetyo 2004: 153-154).
Dalam pada itu di area sekitar Goa Made sendiri pernah dilaporkan adanya temuan kerangka manusia dalam ukuran kecil, mungkin kerangka anak-anak. Hanya saja tulang belulang kerangka itu sekarang telah tiada, hancur karena pengerjaan pertanian yang dilakukan oleh penduduk setempat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa situs Goa Made sebagai bukti peradaban masa silam tidaklah “sendirian” berada di tengah lingkungannya, namun di daerah utaranya ditemukan berbagai bukti aktivitas masyarakat yang menghasilkan artefak-artefak perunggu dan besi.
Lembah Bada, walaupun disebut lembah sebenarnya merupakan dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan. Karena wilayah itu lebih rendah dari perbukitan di sekitarnya, maka dinamakan dengan lembah, padahal Lembah Bada terletak pada ketinggian sekitar 2000 m dari permukaan laut.
Peninggalan arkeologis di Lembah Bada, Sulawesi Tengah, secara dominan menunjukkan adanya sejumlah arca batu yang digambarkan statis dan sederhana. Arca-arca itu tingginya ada yang mengesankan antara 3-4 m, dan penggarapannya pun hanya secara garis besar saja pada wajah dan tangan. Kesan secara keseluruhan arca-arca di Lembah Bada seperti tonggak atau tiang (pilar) batu yang kokoh berdiri mencuat dari dalam tanah. Arca-arca Lembah Bada secara keseluruhan digambarkan tanpa kaki, karena batu tegak yang mirip pilar itu ditancapkan ke dalam muka tanah.
Penggarapan wajah arca pun sederhana saja, hidung digambarkan sedikit menonjol dan pangkal hidung menyatu dengan garis alis yang mencuat ke atas, ke arah dahi. Mata digambarkan dengan bentuk bulatan, dan banyak wajah arca dibuat tanpa penggambaran mulut. Dalam pada itu di bagian tepi wajah terdapat garis batas tebal yang memisahkan wajah dengan bagian kepala lainnya, maka kesan yang diperoleh adalah wajah arca yang digambarkan sejatinya bukan wajah asli, melainkan wajah topeng yang dikenakan pada arca. Wajah dengan alis yang mengarah ke dahi sebagaimana telah dikemukakan merupakan wajah orang Mongoloid yang mengandung ciri Austramelanesid yang menjadi akan cikal bakal penduduk kepulauan Nusantara.
Temuan lain yang terdapat di Lembah Bada adalah bejana-bejana (kalamba) yang beberapa di antaranya dihias relief rendah menggambarkan wajah, terdapat juga batu dakon, batu berlubang, batu bergores dan lainnya. Temuan serta tersebut sama jenisnya dengan yang terdapat di dataran tinggi Pasemah, di tempat itu juga memiliki tinggalan batu dakon, menhir, dolmen, batu bergores dan lainnya, namun temuan di Pasemah lebih beraneka.
Arca-arca batu dalam ukuran besar sangat dominan ditemukan di Pasemah, batu-batu besar itu ada yang dipahat dengan relief rendah membentuk figur orang sedang menaiki gajah, dinamakan dengan Batu Gajah. Van Der Hoop (1932) telah menyatakan bahwa Batu Gajah dapat dijadikan fosil pemandu untuk membantu menjelaskan peradaban Pasemah masa lalu. Mungkin tepatnya bukan fosil pemandu, melainkan artefak pemandu untuk menjelaskan –walaupun sedikit– permasalahan yang masih meliputi peninggalan kuno di Pasemah.
Batu Gajah menggambarkan seorang pria dengan wajah tegas digambarkan dengan mata melotot, mengenakan topi seperti helm, menaiki gajah dengan memegangi telinganya. Hal yang menarik orang itu digambarkan memakai sepatu boot, membawa pedang (belati panjang), dan dipunggungnya terikat nekara, tentunya nekara yang dibawa orang tersebut adalah nekara perunggu. Penggambaran pria dengan busana demikian sungguh aneh dan menarik, pertanyaan yang segera mengemuka adalah “siapakah sebenarnya tokoh pria tersebut?” Menilik pedang atau belati yang diselipkan di pinggangnya, para ahli menyatakan belati itu sama dengan bentuk artefak belati dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam. Begitupun nekara perunggu yang dibawa di punggung pria tersebut tentunya ada hubungannya dengan kebudayaan perunggu Dong-son pula. Akan tetapi mengapa penggambaran relief “Pria Dong-son” justru ada di Pasemah, Sumatra Selatan, sedangkan di Vietnam, di situs Dong-sonnya sendiri tidak ada relief atau arca batu yang menggambarkan pria dengan busana demikian?
Tidak hanya di Batu Gajah terdapat “pria Dong-son”, namun dijumpai pula pada arca-arca batu lainnya di Pasemah yang menggambarkan lelaki, memakai topi seperti helm, dan mengenakan sepatu boot yang bentuknya seperti garis-garis melingkari kedua kakinya. Mengingat banyaknya penggambaran arca demikian di Pasemah sebaiknya disebut saja sebagai figur “Pasemah warrior” yang dahulu pernah mendiami dataran tinggi Pasemah.
Hingga sekarang belum diketahui kronologi akurat dari situs Pasemah, namun kronologi relatif yang dapat dikenakan kepada situs Pasemah berdasarkan adanya relief nekara dan belati perunggu di Batu Gajah, mungkin semasa dengan perkembangan kebudayaan Dong-son. Kronologi termuda dari Kebudayaan perunggu Dong-son berasal dari tarikh 300 SM, namun masa awalnya dapat jauh lebih tua, mungkin sekitar tahun 2000 SM sejalan dengan proses migrasi penduduk di kawasan Asia Tenggara.
Tinjauan ringkas yang telah dilakukan terhadap topeng-topeng dari situs Goa Made ternyata sangat dekat dengan “wajah” pada artefak batu dari Lembah Bada. Dapat kiranya dinyatakan bahwa tidak semua artefak perunggu yang ditemukan dari situs Goa Made berasal dari era Majapahit, terdapat juga artefak perunggu yang berasal dari periode yang lebih tua, dalam zaman prasejarah Indonesia (Munandar 2010: 11). Apabila kebudayaan Dong-son dipandang sebagai pusat kebudayaan logam perunggu dalam periode prasejarah, maka kebudayaan itu pula yang pengaruhnya dijumpai di beberapa lokasi di kawasan Asia Tenggara.
Penentuan kronologi yang didasarkan kepada hasil kajian komparasi dari perspektif gaya seni topeng Goa Made dengan “wajah” pada artefak-artefak prasejarah lainnya, agaknya tidak berbeda terlalu jauh dengan kesimpulan pengujian laboratorium logam yang dilakukan oleh Anacleto Spazzapan seorang ahli geometri Italia. Spazzapan membawa sampel artefak perunggu dari Goa Made untuk dinalisis di laboratorium Arcadia di Milano, untuk diketahui kronologinya. Maka dari uji laboratorium tahun 2000 tersebut dapat diketahui bahwa umur salah satu artefak logam berasal dari sekitar tahun 1000 SM. Hal yang cukup mengejutkan adalah hasil uji laboratorium terhadap tabung perunggu dengan puncak berhiaskan kepala manusia yang dilakukan oleh Laboratorium Arcadia dalam tahun 1999, kronologi yang didapatkan dari artefak tersebut adalah tahun 3000 SM (Munandar 2010: 12). Perbandingan gaya wajah topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar batu di Lembah Bada, ternyata mempunyai beberapa kemiripan, jika topeng-topeng perunggu di Goa Made ditaksir dari era 3000 SM, maka arca-arca pilar di Lembah Bada juga diperkirakan berasal dari kronologi yang sama dengan situs Goa Made. Masih dalam argumen yang sama pula, bahwa artefak perunggu Goa Made dapat dijadikan patokan untuk menentukan kronologi relatif situs Pasemah, maka dapat ditafsirkan bahwa arca-arca batu di situs Pasemah sangat mungkin berasal dari periode yang sama pula dengan era Goa Made dan Lembah bada, yaitu sekitar 3000—1000 SM.
Secara sederhana perbandingan dari ketiga situs masa prasejarah tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Berdasarkan tabel sederhana tersebut di atas dapat ditarik beberapa konklusi yang mengacu kepada data yang ada, yaitu :
- Ketiga situs terletak di pedalaman pulau, Sulawesi, Sumatra, Jawa, di daerah dataran tinggi.
- Wajah Mongoloid terihat pada arca-arca pilar Lembah Bada, wajah Austramelanesoid terdapat pada arca-arca Pasemah, namun kedua macam wajah itu terdapat pada topengtopeng perunggu dari situs Goa Made.
- Ketiga situs mempunyai asosiasi dengan penjelasan:
- antara Goa Made dan Lembah Bada ada kemiripan pada wajah topeng-topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar.
- antara Goa Made dan Pasemah ada asosiasi dengan bukti adanya benda perunggu yang nyata di Goa Made, dan penggambaran benda perunggu (nekara dan belati) pada relief Batu Gajah. Selain itu terdapat topeng-topeng perunggu Goa Made yang wajahnya mirip dengan wajah arca-arca batu di Pasemah.
- antara Pasemah dan Lembah Bada terdapat persamaan terutama pada lokasi kedua situs itu yang terletak di pedalaman pulau dan di dataran tinggi antara 1000-2000 m dari muka laut.
- Jika Goa Made <–> Lembah Bada, dan jika Goa Made <–> Pasemah, maka Pasemah diduga mempunyai asosiasi pula dengan Lembah Bada.
Ketiga situs dari masa prasejarah tersebut agaknya telah dirancang dan dipilih dengan baik oleh para pendukungnya dahulu. Jika situs Lembah Bada dan Pasemah temuan arkeologisnya terdapat di permukaan tanah, maka situs Goa Made, temuan arkeologis yang berupa topeng tersebut terdapat di lorong-lorong bawah tanah yang agaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Lorong-lorong bawah tanah di Goa Made di bagian tertentu diperkuat dengan susunan bata berukuran besar-besar, lorong itu pun dapat dimasuki oleh manusia dewasa dengan cara membungkuk dan di ruang lorong yang besar dapat berdiri bebas. Memang sampai sekarang penelitian tentang Goa Made masih belum tuntas benar, namun hal yang menarik adalah temuan topeng perunggu dalam jumlah besar, dan berdasarkan kronologi akuratnya mengacu kepada penanggalan 3000 tahun SM, lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam.
INDONESIA ADALAH ATLANTIS YANG HILANG
Pada bagian pertama telah diuraikan tentang seorang ahli geologi dan fisikawan nuklir bernama Arysio Nunes dos Santos yang menerbitkan bukunya dalam tahun 1997 dengan judul Atlantis-The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization o f Plato’s Lost Civilization). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan terbit pertama kali tahun 2009 yang lalu dengan judul gado-gado Atlantis: The Lost Continent Finally Found The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization, Indonesia Ternyata Tempat lahir Peradaban Dunia (Jakarta: Penerbit Ufuk). Thesa penting dalam buku ini adalah kesimpulan penting dari Arysio Santos bahwa benua Atlantis yang hilang sebagaimana yang diuraikan oleh Plato sebenarnya berada di wilayah Indonesia sekarang. Semula benua itu merupakan bagian dari Asia Tenggara yang tidak digenangi airlaut ketika zaman es meliputi bumi.
Pada sekitar 11.600 tahun yang lalu zaman es berakhir, maka dataran rendah Tenggara lalu digenangi air dan menjelma menjadi Laut Jawa dan bagian selatan Laut Cina Selatan. Daerah-daerah ketinggian, rangkaian pegunungan dan gunung-gunung tinggi tetap tidak digenangi air lalu menjelma menjadi pulau-pulau Nusantara dewasa ini.
Atlantis yang telah mempunyai peradaban maju itu, menurut Plato mempunyai karakter geografis dan geologis tertentu, itulah yang ditelusuri oleh Dos Santos dan pada akhirnya membawa kepada kesimpulan bahwa Atlantis sekarang terletak di dasar Laut Jawa sekarang. Pakar itu menyatakan:
“Laut Jawa dan Selat Sunda membentuk sebuah daratan yang luas semasa zaman es, saat masih berupa daratan. Daratan seluas itu amat langka. Terlebih lagi paparan Laut Jawa yang bentuknya persegi berukuran sekitar 600 x 400 km2. Ukuran tersebut sama persis dengan gambaran Plato tentang Dataran Agung Atlantis. Jadi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Laut Jawa sekarang ini ada hubungannya dengan Dataran Agung Atlantis” (Dos Santos 2010: 151).
Pada bagian lain dari bukunya Dos Santos menyatakan:
“Kota Atlantis berada di Selat Sunda, selat yang memisahkan Jawa dan Sumatra serta memungkinkan akses ke Dataran Agung Atlantis melalui kanal raksasa yang mengarah ke laut di depan sepanjang Selat Sunda” (2010: 261).
Dos Santos dengan yakin menduga bahwa dataran Atlantis yang dimaksudkan dengan Plato adalah paparan Sunda yang sekarang tenggelam menjadi laut Jawa, jadi sangat mungkin di dasar laut itulah terdapat sisa-sisa peradaban Atlantis kuno. Secara tegas ia juga menyatakan kota besar Atlantis dahulu berada di dataran yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra yang sekarang telah terbelah menjadi Selat Sunda, akibat meletusnya Krakatau Purba di akhir zaman es sekitar 11. 600 tahun yang lalu.
Perihal Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang di lereng tengahnya terdapat situs megalitik yang sangat luas, yaitu situs Pasemah di Pagar Alam, Dos Santos menyatakan bahwa menurut uraian Plato di dataran Atlantis mengalir 4 sungai yang bermata air di sebuah gunung dan mengalir di dasar laut. Keempat sungai itu berhulu di dekat atau di Gunung Dempo, salah satu gunung tinggi di kawasan Sumatra bagian selatan yang dahulu pernah aktif sebagaimana layaknya Krakatau (Dos Santos 2010: 151-152).
Demikianlah kesimpulan yang berhasil dikemukakan Dos Santos tentang benua yang hilang Atlantis yang menurutnya berada di wilayah Indonesia, selanjutnya melangkah pada tahap pembuktian pendapat Dos Santos tersebut. Kalangan ilmuwan yang skeptis hanya menganggap angin lalu saja pendapat terbaru tentang lokasi Atlantis tersebut. Sebab banyak pendapat tentang lokasi Atlantis yang telah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu. Mungkin saja di masa mendatang akan muncul lagi pendapat lain yang menempatkan Atlantis di lokasi lain di bumi ini.
Akan tetapi dalam kajian arkeologi Indonesia tentang 3 situs prasejarah yang telah dikemukakan dalam telaah ini terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain sebagai berikut:
- Di lereng Gunung Dempo yang dikemukakan Dos Santos sebagai salah satu puncak gunung Atlantis, terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang hanya berasal dari 300 SM, situs itu adalah Pasemah.
- Pria dengan busana “Pasemah warrior” tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Suatu penggambaran pakaian perang yang belum dapat dikenali.
- Sejumlah topeng perunggu dari Goa Made, memperlihatkan manusia dengan memakai topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia atau dunia. Agaknya merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Topi perang dari peradaban manakah itu?, apalagi kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang berasal dari tahun 3000 SM.
- Arca-arca pilar di Lembah Bada sebenarnya juga menggambarkan topeng yang wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang bukan Malayan Mongoloid.
- Situs Pasemah, Lembah Bada, dan Goa Made terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di ketinggian. Mungkinkah hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang besar dari lautan (tsunami) yang menerjang daerah-daerah rendah?
- Apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian dalam segitiga itu ternyata adalah Laut Jawa yang diduga Dos Santos adalah bekas dataran agung Atlantis yang telah menjelma menjadi laut pada sekitar 11.600 tahun dari sekarang.
Demikianlah kajian ringkas tentang peninggalan-peninggalan arkeologis tertua yang ada di wilayah kepulauan Nusantara. Kajian ini sepenuhnya didasarkan kepada data arkeologi yang telah umum diketahui oleh para arkeolog dan peminat kajian kebudayaan kuno Indonesia pada umumnya. Jika ada perbedaan antara kajian ini dengan pendapat para arkeolog umumnya, hanyalah terletak pada interpretasinya. Kajian ini berupaya untuk menghubungkan ketiga situs prasejarah penting di Nusantara itu secara integral. Ternyata kesimpulan yang dihasilkan setelah melakukan perbandingan serta penelusuruan asosiasi fenomena arkeologi ketiga situs itu, didapatkan kenyataan yang menarik, yaitu bahwa terdapat bukti-bukti bahwa masa prasejarah Indonesia justru menghasilkan kebudayaan perunggu, kemudian kebudayaan perunggu itu mempengaruhi perkembangan kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Mungkinkah ada pengaruh kebudayaan lain yang lebih tua dari pada apa yang diperlihatkan oleh ketiga situs tersebut itu ? Jawabannya masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan meluas.
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Ternyata Indonesia Adalah Benua Atlantis Yang Hilang. Jika menurut Anda Ternyata Indonesia Adalah Benua Atlantis Yang Hilang bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus