Prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsujen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam Kitab Musarar dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendenag, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada tahun rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dengan mengambil orang dari India, Kandi, Siam. Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di Gunung Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak ditanami yang keduakalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 tahun matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu:
I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 tahun matahari (721 tahun bulan). Pada waku itu di Jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.
II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perubahan pada bumi, bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah jalan, karena orang yamg mati banyak menjelma (nitis).
III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 tahun. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.
Tiga jaman tersebut. Masing-masing dibagi menjadi Saptama-kala, artinya jaman kecil-kecil, tiap jaman rata-rata berumur 100 tahun. Matahari (103 tahun bulan), seperti dibawah ini :
I. JAMAN KALI-SWARA dibagi menjadi :
Kala-kukila 100 tahun, (tahun 1-100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana yang kuat dia yang menang, belum ada raja, jadi belum ada yang mengatur/memerintah.
Kala-buddha (tahun 101-200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha menurut syariat Hyang agadnata (Batara Guru).
Kala-brawa (tahun 201 - 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab banyak Dewa yang turun kebumi menyiarkan ilmu.
Kala-tirta (tahun 301-400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang air itu bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dsb.
Kala-swabara (tahun 401-500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri manusia.
Kala-rebawa (tahun 501-600): Orang Jawa mengadakan keramaian-keramaian, kesenian dsb.
Kala-purwa (tahun 601-700): Banyak tumbuh-tumbuhan keturunan orang-orang besar yang sudah menjadi orang biasa mulai jadi orang besar lagi.
II. JAMAN KALA-YOGA dibagi menjadi :
Kala-brata (tahun 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.
Kala-drawa (tahun 801-900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai menerangkan hal-hal yang gaib.
Kala-dwawara (tahun 901-1.000): Banyak kejadian yang mustahil.
Kala-praniti (tahun 1.001- 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.
Kala-teteka (tahun 1.101 - 1.200): Banyak orang datang dari negeri-negeri lain.
Kala-wisesa (tahun 1.201 - 1.300): Banyak orang yang terhukum.
Kala-wisaya (tahun 1.301 - 1.400): Banyak orang memfitnah.
III. JAMAN KALA-SANGARA dibagi menjadi :
Kala-jangga (tahun 1.401 - 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.
Kala-sakti (tahun 1.501 - 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.
Kala-jaya (tahun 1.601 - 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang punggung kehidupannya.
Kala-bendu (tahun 1.701 - 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya bentrokkan.
Kala-suba (tahun 1.801 - 1.900 ) : Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang bersenang hati.
Kala-sumbaga (tahun 1.901 - 2.000) : Banyak orang tersohor pandai dan hebat.
Kala-surasa (tahun 2.001 - 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak ada kesulitan, banyak orang ulah asmara.
Ramalan yang ditulis Jayabaya itu disetujui oleh pendeta Maulana Ali Samsujen, kemudian sang pendeta pulang ke negerinya, diantar oleh Jayabaya dan putera mahkotanya Jaya-Amijaya di Pagedongan, sampai di perbatasan. Jayabaya diiringi oleh puteranya pergi ke Gunung Padang, disambut oleh Ajar Subrata dan diterima di sanggar semadinya. Sang Anjar hendak menguji sang Prabu yang terkenal sebagai penjelmaan Batara Wisnu, maka ia memberi isyarat kepada endang-nya (pelayan wanita muda) agar menghidangkan suguhan yang terdiri dari :
Kunir (kunyit) satu akar
Juadah satu takir (mangkok dibuat dari daun pisang)
Geti (biji wijen bergula) satu takir
Kajar (senthe sebangsa ubi rasanya pahit memabokkan satu batang)
Bawang putih satu takir
Kembang melati satu takir
Kembang seruni (serunai; tluki) satu takir
Anjar Subrata menyerahkan hidangan itu kepada sang prabu. Seketika Prabu Jayabaya menjadi murka dan menghunus kerisnya, sang Anjar ditikamnya hingga mati, jenazahnya muksa hilang. Endangnya yang hendak laripun ditikamnya pula dan mati seketika.
Sang putera mahkota sangat heran melihat murkanya Sang Prabu yang membunuh mertuanya (Anjar Subrata) tanpa dosa. Melihat putera mahkotanya sedih, sesudah pulang Prabu Jayabaya berkata dengan lemah lembut. "Ya anakku putera mahkota, janganlah engkau sedih karena matinya mertuamu, sebab sebenarnya ia berdosa terhadap Kraton. Ia bermaksud mempercepat berakhirnya, para raja di tanah Jawa yang belum terjadi. Hidangan sang Ajar menjadi perlambang akan hal-hal yang belum terjadi. Kalau ku-sambut (hidangan itu) niscaya tidak akan ada kerajaan melainkan hanya para pendeta yang menjadi orang-orang yang dihormati oleh orang banyak, sebab menurut guruku Baginda Ali Samsujen, semua ilmu Ajar itu sama dengan semua ilmuku".
Sang prabu anom bertunduk kepala memahami, kemudian mohon penjelasan tentang hidangan-hidangan sang pendeta dalam hubungannya dengan kraton-kraton yang bersangkutan, Sabda Prabu Jayabaya, "Ketahuilah anakku, bahwa aku ini penjelmaan Wisnu Murti, berkewajiban mendatangkan kesejahteraan kepada dunia, sedang penjelmaanku itu tinggal dua kali lagi. Sesudah penjelmaan di Kediri ini, aku akan menjelma Malawapati dan yang terakhir di Jenggala, sesudah itu aku tidak akan lagi menjelma di pulau Jawa, sebab hal itu tidak menjadi kewajibanku lagi. Tata atau rusaknya jagad aku tidak ikut-ikut, serta keadaanku sudah gaib bersatu dengan keadaan di dalam kepala-tongkat guruku. Waktu itulah terjadinya hal-hal yang dilambangkan dengan hidangan Sang Ajar tadi. Terdapat pada 7 tingkat kerajaan, alamnya bergantian, berlainan peraturannya. Wasiatkanlah hal itu kepada anak cucumu di kemudian hari".
Adapun keterangan tentang 7 (tujuh) kraton itu sebagai berikut:
Jaman Anderpati dalam jaman Kalawisesa, ibukotanya Pajajaran, tanpa adil dan peraturan. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa emas. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan si Ajar berupa kunyit. Lenyapnya kerajaan karena pertengkaran di antara saudara. Yang kuat menjadi-jadi kesukaanya akan perang dalam tahun rusaknya negara.
Jaman Srikala Rajapati Dewaraja, ibukotanya Majapahit, ada peraturan negara sementara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa perak. Itulah diperlambangkan suguhan Ajar berupa juadah. Dalam 100 tahun. Kraton itu sirna, karena bertengkar dengan putera sendiri.
Jaman Hadiyati dalam jaman Kalawisaya. Disanalah mulai ada hukum keadilan dan peraturan negara, ibukota kerajaan di Bintara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa tenaga kerja. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan berupa geti. Kraton sirna karena bertentangan dengan yang memegang kekuasaan peradilan.
Jaman Kalajangga, bertakhtalah seorang raja bagaikan Batara, ibukotanya di Pajang. Disanalah mulai ada peraturan kerukunan dalam perkara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa segala macam hasil bumi di desa. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan Ajar berupa kajar sebatang. Sirnanya kerajaan karena bertengkar dengan putera angkat.
Jaman Kala-sakti yang bertakhta raja bintara, ibukotanya Mataram. Disanalah mulai ada peraturan agama dan peraturan negara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang perak. Itulah yang dilambangkan dalam suguhan Ajar berupa bawang putih.
Jaman Kala-jaya dalam pemerintahan raja yang angkara murka, semua orang kecil bertabiat sebagai kera karena sulitnya penghidupan, ibukotanya di Wanakarta. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang real. Itulah lambang suguhan yang berupa kembang melati. Kedudukan raja diganti oleh sesama saudara karena terjadi kutuk. Hilanglah manfaat bumi, banyak manusia menderita, ada yang bertempat tinggal di jalanan, ada yang di pasar. Sirnanya Karaton karena bertengkar dengan bangsa asing.
Jaman Kala-bendu di jaman raja hartati, artinya yang menjadi tujuan manusia hanya harta, terjadilah Karaton kembali di Pajang-Mataram. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa macam-macam, ada yang berupa emas-perak, beras, padi dsb. Itulah yang dilambangkan Ajar dengan suguhannya yang berupa bunga serunai. Makin lama makin tinggi pajak orang kecil, berupa senjata dan hewan ternak dsb, sebab negara bertambah rusak, kacau, sebab pembesar-pembesarnya bertabiat buruk, orang kecil tidak menghormat. Rajanya tanpa paramarta, karena tidak ada lagi wahyunya, banyak wahyu setan, tabiat manusia berubah-ubah.
Perempuan hilang malunya, tiada rindu pada sanak saudara, tak ada berita benar, banyak orang melarat, sering ada peperangan, orang pandai kebijaksanaannya terbelakang, kejahatan menjadi-jadi, orang-orang yang berani kurangajar tetap menonjol, tak kena dilarang, banyak maling menghadang di jalanan, banyak gerhana matahari dan bulan, hujan abu, gempa perlambang tahun, angin puyuh, hujan salah mangsa, perang rusuh, tak ketentuan musuhnya.
Itulah semua perlambang si Ajar yang mengandung berbagai maksud yang dirahasiakan dengan endangnya ditemukan dengan Prabu Jayabaya. Saat itu sudah dekat dengan akhir jaman Kalabendu. Sirnanya raja karena bertentangan dengan saingannya (maru=madu). Lalu datanglah jaman kemuliaan raja.
Di saat inilah pulau Jawa sejahtera, hilang segala penyakit dunia, karena datangnya raja yang gaib, yaitu keturunan utama disebut Ratu Amisan karena sangat hina dan miskin, berdirinya tanpa syarat sedikitpun, bijaksanalah sang raja. Kratonnya Sunyaruri, artinya sepi tanpa sesuatu sarana tidak ada sesuatu halangan. Waktu masih dirahasiakan Tuhan membuat kebalikan keadaan, ia menjadi raja bagaikan pendeta, adil paramarta, menjauhi harta, disebut Sultan Herucakra.
Datangnya ratu itu tanpa asal, tidak mengadu bala manusia, prajuritnya hanya Sirullah, keagungannya berzikir, namun musuhnya takut. Yang memusuhinya jatuh, tumpes ludes menyingkir, sebab raja menghendaki kesejahteraan negara dan keselamatan dunia seluruhnya.
Setahun bukannya dibatasi hanya 7.000 real tak boleh lebih. Bumi satu jung (ukuran lebar. kl. 4 bahu) pajaknya setahun hanya satu dinar, sawah seribu (jung?) hasilnya (pajaknya) hanya satu uwang sehari, bebas tidak ada kewajiban yang lain. Oleh karena semuanya sudah tobat, takut kena kutuk (kuwalat) ratu adil yang berkerajaan di bumi Pethikat dengan kali Katangga, di dalam hutan Punhak. Kecepit di Karangbaya. Sampai kepada puteranya ia sirna, karena bertentangan dengan nafsunya sendiri.
Lalu ada Ratu (raja) Asmarakingkin, sangat cantik rupanya, menjadi buah tutur pujian wadya punggawa, beribukota di Kediri. Keturunan ketiganya pindah ke tanah Madura. Tak lama kemudian Raja sirna karena bertentangan dengan kekasihnya.
Lalu ada 3 orang raja disatu jaman, yaitu :
Ber-ibukota di bumi Kapanasan
Ber-ibukota di bumi Gegelang
Ber-ibukota di bumi Tembalang. Sesudah 30 tahun mereka saling bertengkar, akhirnya ketiganya sirna semua. Pada waktu itu tidak ada raja, para bupati di Mancapraja berdiri sendiri-sendiri, karena tidak ada yang dianggap (disegani).
Beberapa tahun kemudian ada seorang raja yang berasal dari sabrang (lain negeri). Nusa Srenggi menjadi raja di Pulau Jawa ber-ibukota di sebelah timur Gunung Indrakila, di kaki gunung candramuka. Beberapa tahun kemudian datang prajurit dari Rum memerangi raja dari Nusa Srenggi, raja dari Nusa Srenggi kalah, sirna dengan bala tentaranya. Para prajurit Rum mengangkat raja keturunan Herucakra, ber-ibukota di sebelah timur kali opak, negaranya menjadi lebih sejahtera, disebut Ngamartalaya. Sampai pada keturunanya yang ketiga, sampailah umur Pulau Jawa genap 210 matahari. Ramalan di atas disambung dengan "Lambang Praja" yang dengan kata-kata indah terbungkus melukiskan sifat keadaan kerajaan-kerajaan di bawah ini:
- JANGGALA
- PAJAJARAN
- MAJAPAHIT
- DEMAK
- PAJANG
- MATARAM KARTASURA
- SURAKARTA
- JOGJAKARTA.
Yang terakhir mengenai hal yang belum terjadi ialah :
Negara Ketangga Pethik tanah Madiun
Negara Ketangga kajepit Karangboyo
Kediri
Bumi Kepanasan, Gegelang (Jipang), Tembilang (Dekat Tembayat)
Ngamartalaya
Perlu diterangkan bahwa tidak semua naskah Ramalan Jayabaya memuat "Lambang Praja". Maka hal ini banyak menimbulkan dugaan, bahwa ini sebuah tambahan belaka. Demikianlah pokok inti ramalan Jayabaya.
Posting khusus Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat, silahkan kunjungi:
Visit Sufipedia
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Paseban Jati dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:
Visit Donasi Paseban Jati
Anda sedang membaca artikel Yang Berjudul Prabu Sri Aji Joyoboyo. Jika menurut Anda Prabu Sri Aji Joyoboyo bermanfaat mohon bantu sebarkan. Untuk menyambung tali silaturahmi silahkan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan Paseban Jati. Jika ingin bergabung menjadi anggota Paseban Jati, silahkan klik DAFTAR. Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.
Post a Comment Blogger Disqus